by

Musibah Lion Air Bukan Dagangan Politik Apalagi Canda

Saya terbang setidaknya dua kali seminggu hanya untuk bertemu dengan orang-orang yang saya sayangi. Dua kali dalam seminggu itu, saya harus mengundi lotre dan bertaruh dengan nasib. Semakin sering saya terbang, semakin besar peluang saya apes. Namun, tetap saja tak ada yang lebih membahagiakan dibanding perjalanan menuju bandara pada Jumat sore semacam itu. Jumat ini, saya akan terbang lagi ke Makassar. Dan kembali dari Makassar Senin pagi di jam-jam segitu.

Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya. Kutipan yang telah jadi klise itu barangkali juga berlaku untuk kematian. Dulu, saya pikir mati ya mati saja. Habis perkara. Nyatanya tak segampang itu. Setelah menikah, saya jadi takut mati. Sejak Bumi lahir, saya semakin takut mati. Saya takut tak bisa lagi melihat senyum anak dan istri. Saya takut waktu saya tak cukup lama untuk menemani mereka.

Beberapa jenazah korban telah ditemukan. Saya masih berharap semoga ada keajaiban, semoga korban lain selamat. Mereka juga punya keluarga, yang menunggu dengan hati kalut sembari terus berdoa. Dua puluh orang dari sekian penumpang dalam pesawat itu teman-teman saya. Kami kuliah di kampus yang sama, bekerja di tempat yang sama, dan berbagi nasib yang sama: perantau yang jauh dari orang-orang terkasih.

Tak ada yang bisa memaksa seseorang peduli atau memahami kesedihan orang lain. Saya pun tidak pandai berkelahi. Namun, jika ada yang menjadikan kecelakaan ini sebagai guyonan atau menyebut sebagai azab di depan muka saya, saya tak yakin bisa menahan diri untuk mengeprukkan gelas persis di ubun-ubunnya. Sebesar apa pun badannya, sesaleh apa pun tampangnya.

Sumber : Status Facebook Ahmad Taufik R

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed