Orang-orang awam nan lugu pun ikut arus postingan-postingan sampahnya. Mereka merasa membela agama dan penuh semangat berkerumun dengan sesama orang lugu lainnya di situ, padahal semua itu by design agar si Jonru dan keluarganya bisa terus makan dan bisa terus menjual iklan di Fanpage-nya. Yang diuntungkan adalah kantong si Jonru, dan di sisi lain persatuan menjadi taruhannya, belum lagi peradaban bangsa ini pun mengalami kemunduran berabad-abad.
Ternyata keberhasilan si Jonru mengilhami salah satu konsultan paslon di Pilgub DKI, Eep Saefullah Fatah. Konsultan politik yang pernah bersinar dan menjadi pemuda harapan bangsa di era Orde Baru ini sadar sepenuhnya bahwa Ahok tak bisa dikalahkan dengan kalkulasi apapun, kecuali memainkan sentimen agama dipadu dengan sentimen ras, karena selain nonmuslim dia WNI juga keturunan Tionghoa. Maka tak ada jalan lain kecuali memainkan politik kotor dengan memanfaatkan rumah-rumah ibadah untuk menggosok sentimen dan kebencian terhadap Ahok. Amunisi bertambah karena Ahok terjerat kasus penodaan agama–kasus yang debatable namun dipaksakan–yang membuat jutaan orang berkumpul atas “jasa” para provokator bermodal jubah ulama.
Kini terjawab sudah mengapa masjid-masjid seragam mengkampanyekan paslon tertentu. Mengapa khotbah-khotbah Jumat identik dengan mimbar untuk mengelus-elus paslon satunya dan menyebar kebencian untuk paslon lainnya. Ternyata semua khotbah itu politis. Gerakan-gerakan sholat Subuh Berjamaan politis. Semua terjawab oleh video yang bocor dari ceramahnya di Masjid Al Azhar Jakarta, ketika Eep sedang mengungkap desain pemenangan paslon yang didukungnya. Kalau sastrawan AA Navis menulis novel “Robohnya Surau Kami” maka Eep menciptakan “Robohnya Masjid Kita”.
Maka seolah tak ada gunanya para pendahulu bangsa dulu menggelar Sumpah Pemuda, menurunkan ego primordial dan mengedepankan kesatuan untuk bersatu mengusir penjajah. Seakan tak ada gunanya Soekarno, Hatta dan tokoh-tokoh pemuda menggalang persatuan dan kesatuan dengan memendam sentimen masing-masing golongan agar negara ini bisa berdiri. Sepertinya tak ada gunanya lagi Pancasila dengan 36 butirnya yang pernah menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara di masa lalu, di mana kita saling menghargai perbedaan dan keyakinan masing-masing warga negara.
Jonru punya kepentingan pribadi menghidupi keluarganya. Eep punya kepentingan memenangkan paslon yang sudah membayar mahal dirinya. Akhirnya dua orang ini pun tak ragu-ragu untuk melakukan hal yang menjijikkan, mempertaruhkan keutuhan bangsanya sendiri. Dua orang ini seakan lupa di Ambon 5.000 orang lebih mati sia-sia, menjadi korban konflik antaragama, ketika sentimen terus digosok dan masing-masing golongan dibenturkan satu sama lain. Satu hal yang kini disadari betul oleh masyarakat Ambon. Mereka tak mau lagi mengulang peristiwa yang mencekam itu, dengan hidup saling menghormati, memendam sentimen dan memupuk persaudaraan antargolongan, karena sejatinya mereka adalah saudara sebangsa.
Tapi apa yang dilakukan Jonru dan Eep ini? Mereka justru membangkitkan trauma, terus menggosok sentimen dan memupuk kebencian. Dua orang ini memang spantas mendapatkan piala atas pretasinya, untuk kategori The Most Disgusting People, karena perbuatannya memang sangat menjijikkan.
Comment