by

Monyet Papua Dan Bebek Jawa

Zimbabwe, Gabon, Pantai Gading, dan beberapa negara lain berdiri dalam antrian untuk dikunjungi insinyur pertanian dan peternakan dari tanah Yahudi.

Tidak ada kebencian terhadap Bule, Cina, India, atau Yahudi, di Afrika. Aliran modal masuk deras. Bule-bule keparat, yang dulu kerjanya mengutili Afrika, sekarang mikir seribu kali: ada Cina masuk berdagang dengan hati. Bayangkan, 4 kekuatan utama dunia datang berduyun-duyun. Mereka bawa modal, kecerdasan, teknologi, dan cinta. 20 tahun lagi Afrika bakal jadi kawasan utama dunia.

Saya tersenyum pahit. Entah siapa yang nanti mengumpat monyet ketika striker Pepe bertanding di piala dunia 2030 di stadion Allianz, misalnya.

Pertanyaan saya kepada kita tentang Papua: ada yang pernah diperlakukan secara rasistikal di bumi Papua? Tujuh teman saya punya cerita indah. Dua bule bersumpah-mampus bakal balik ke sana. “Di Papua saya menemukan hati,” kata salah seorang dari mereka.

Lima pribumi berucap senada. Mereka bahkan menjalin persahabatan dengan para tetua Papua. Catatan saya juga menunjukkan belum ada terekam peristiwa rasis dari sana.

Lalu kenapa Pogba, Drogba, Cole, Wright, dan sekarang sekian belas mahasiswa Papua harus menderita karena dipanggil monyet oleh sebagian dari kita? Apa dasarnya? Apa alasannya?

Di sebuah hotel di Jakarta saya berpapasan dengan serombongan calon model. Mereka sedang mengikuti semacam ajang pencarian bakat. Beberapa gadis dari Papua menyita perhatian. Saya hampiri, mengajak mereka ngobrol. Ada yang dari Sorong, Waimena, Jayapura, Biak, dan Fakfak. Mereka cantik. Otentik. Tubuhnya indah. Kulitnya coklat tua mengilat. Duh, alangkah ranum. Sayang tak ada satu dari mereka yang berusia 22 tahun sebagai alasan buat saya untuk menjadi Ahok. Mereka berusia belasan, pemilik masa depan.

Mereka akan mengubah wajah Papua. Whitney Houston adalah masa lalu. Beyonce segera berlalu. Melesak dan meledak gadis-gadis bernama Infun, Manseren, Sareni di panggung duniak kelak.

Tahun lalu, saat berbincang tentang kecantikan Indonesia, seorang teman berusul agar kita merumuskanulang kecantikan Indonesia. Cantik bukan lagi sawo matang, katanya. Bukan juga kuning langsat. Tapi hitam Papua, kuping melar perempuan Dayak. Itu harus mengemuka dalam paparan produk.

Saatnya kita enyahkan dominasi sawo matang dan kuning langsat dari bumi Indonesia. Sehabis itu ruang terbuka bagi kemolekan tubuh gadis Papua mengenakan swimsuit eksotik di atas kulit legamnya, bersanding tubuh gempal lelaki Papua mengenakan celana dalam yang dirancang mirip koteka.

Itulah Indonesia baru. Saat mahluk hitam merajai arena, kita lalu terlihat lucu.

Semoga tak satu dari mereka menyebut kita “babi” atau “kambing”

Sumber : Status Facebook Sahat Siagian

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed