by

Monas, Monas Gejrot, Gejrot. Gegelengan

Bermodal kosa kata bahasa Arab itu, orang manggut-manggut. Sebab bahasa Arab saja sudah terdengar sangat syari. Kayak ana-antum atau fil umrik. Orang jadi merasa berdosa kalau ada yang ulang tahun, lalu gak nulis umrik-umrik dalam pesan WA-nya. Pokoknya kalau sudah umrik, serasa mencium bau surga. Baik untuk yang ulang tahun maupun yang mengucapkan..

Nah, demikian juga dengan bahasa sunatullah bahwa air meresap ke tanah. Hanya bermodal kata ‘sunatullah’ itu rupaanya cukup untuk membodohi mereka yang pikirannya kuncup. Padahal Jakarta kota besar. Jalannya penuh aspal. Trotoarnya beton. Lantas air mau rembes lewat mana, Bambang?

Tapi keterampilan menjual bacot di era sekarang emang yahud. Bacot melahirkan bacot baru. Lalu akan bacot lagi pada akhirnya. Makanya salah satu antisipasi banjir, dengan cara mentoa-kan bacot itu. Biar Jakarta makin rame.

Jika cuma bacot doang mestinya gak apa-apa. Paling bikin puyeng. Berisik. Dan hujan ludah. Kadang ngeselin. Tapi cuma itu aja.

Bagaimana jika bacot dibarengi dengan ngeyel? Itulah kombinasi yang pas buat bikin sakit perut. 

Jakarta punya Monas. Tapi ingat, Monas sesungguhnya ada di bawah kewenangan Sekretariat Negara. Bukan wilayah Pemda DKI. Sialnya, wilayah yang bukan wwewenangnya itu ditenderkan Pemda DKI untuk diobrak-abrik. Istilahnya kerennya direvitalisasi.

Emang vital siapa yang mau dikasih terasi?

Pemenang tender obrak-abrik Monas senilai Rp71 milyar kabarnya perusahaan yang kantornya ngontrak. Kemampuan perusahaan itu juga menurut info hanya bisa menangangi proyek yang besarnya Rp9 miliar. Mana lokasi kantornya di Google map bentuknya pabrik tahu.

Mereka ini mau revitalisasi Monas apa mau bikin Monas gejrot!

Gegayaan merasa Monas miliknya, perusahaan yang ditunjuk langsung tancap gas. 190 batang pohon jadi korban. Ditebang. Gubrak. Orang-orang marah, kenapa Monas yang asri mau dibuat sepanas gurun?

Jangan mentang-mentang sering jadi tenpat reuni, Monas mau digurunkan. Gak bener itu.

Lagi pula, peserta reuni sendiri pasti marah jika pohon di Monas ditebangi. Kalau gak ada batang pohon, mereka mau pipis dimana?

Eh, rupanya setelah diobrak-abrik ketahuan ternyata wilayah Monas bukan wewenang Pemda DKI. Itu wewenang Setneg. 

Ketimbang bermasalah, penjual kata itu buru-buru membuat surat ke Setneg meminta izin membereskan Monas? Sialnya, pohonnya sudah ditebang. Gak bisa lagi batangnya disambung dengan lem aibon.

Setneg sudah pasti tersinggunglah. Enak aja baru minta izin, sementara Monas sudah habis digerayangi. Emangnya Setneg cewek apaan? 

Kini Monas gundul. Gundul segundul gundulnya Gundul-gundul pacul, cul. Gegelengan…

Menatap Monas kini, orang hanya bisa menyanyikan lagu Halo Bandung : Halo, halo Bandung, dung. Gegelengan…

Tapi kenapa Monas yang asri itu dibuat gundul, dul? Mungkin karena mau menggelar even balapan Tamiya kaleng-kaleng yang menghabiskan duit Rp1,6 triliun. 

Entah. Modal bacot. Kerja gak beres. Cenderung merusak. Malah mau hambur-hamburkan duit menggelar balapan mobil. Sampai bikin Monas gundul.

Bukannya mikirin bagaimana antisipasi banir di masa depan. Malah sok-soak balapan Tamiya.

Monas, monas gejrot, jrot! Gegelengan…

Www.ekokuntadhi.id

 
(Sumber: Facebook Eko Kuntadhi)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed