by

Moeldoko dan Buzzer

Bahasa Indonesia memang terasa lebih enak kalau dibacem, dan perlu. Seperti tempo, eh, tempe ding. Lebih karena sudut pandang. Kadang juga pandang yang tersudut. Jadi ngawur tak apa. Asal narasinya keren. Apalagi dengan diksi yang sastrawi.

Padahal, dalam bahasa komunikasi internet, perilaku netizen telah diamati dengan melihat kecenderungan konten dan konsistensiny. Hinga muncul definisi seperti buzzer, influencer, content creator, yang satu sama lain sangat berbeda.

Menyamakan buzzer dan influencer, adalah penyederhanaan masalah. Meski bisa juga kesengajaan, untuk membiaskan masalah. Apalagi di kalangan pengamat netizen internasional telah muncul kesepakatan, penyebutan berdasar communication-style, untuk karakter masing-masing sebutan itu. 

Buzzer muncul dari akun-akun yang tak bisa diverifikasi, karena identitas yang disembunyikan dan dipalsukan. Sangat berbeda dengan influencer atau content creator, yang muncul dari akun-akun dengan identitas jelas. Dengan alamat publik yang juga jelas. Postingan antara buzzer dan influencer sangat berbeda, meski bisa jadi para buzzer merepost, atau mendengungkan postingan influencer. 

Meski konten postingan sama (karena repost atau pun copast), tetapi kadar sejarah kelahirannya beda. Di situ maka ada penyebutan beda antara influencer dan buzzer. Apalagi kalau menilik karakter yang lebih spesifik lagi, misal dalam sikap, pandangan dan pemihakan pada apa yang didukung dan tidak. Belum pula jika dengan embel-embel bayaran dan sukarelawan, dengan menyisihkan kemungkinan lain dalam posisi “politik” masing-masing, di luar dua alasan tersebut.

Tapi antara Moeldoko, dan lawan yang memanfaatkan omongan itu, mirip seperti dalam komedi badut-badut pasar malam. Tuding-menuding dalam lingkaran. Sementara Menkominfo terus saja membolehkan penjualan kartu seluler perdana dengan bebas. Meski harus registrasi, tetapi bisa secara online, dan bisa ditipu nomor NIK asal asal jumlah-digitnya terpenuhi. 

Padahal, di negara lebih modern seperti AS dan Eropa, untuk memiliki nomor ponsel lebih dari 1, sulitnya minta ampun. Ini negeri demokrasi, di mana kapitalisme dan kebodohan diuntungkan. 

(Sumber: Facebook Sunardian W)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed