by

Missing Link Kemenangan Anies – Sandi

KILLING GROUND
Masa prime time juga masa kritis yang mampu menyeret lawan ke dalam killing ground (arena pembantaian). Fenomena ini tampak di Pilgub DKI putaran pertama 15 Februari 2017. Antasari Azhar melancarkan serangan di H-1 dengan melapor ke Bareskrim Mabes Polri dengan menyebut-nyebut nama SBY sebagai orang di balik kasusnya. SBY rupanya bereaksi dengan langsung masuk ke killing ground tersebut yang kemudian menghancurkan elektabilitas Agus yang sedang moncer-moncernya. Agus sebagai calon kuat, akhirnya terbantai. Suaranya pindah ke Anies, yang dalam serangkaian survei elektabilitasnya tidak pernah lebih tinggi dibanding 2 calon lain.
.
Ahok juga masuk ke killing ground ini lewat kasus Al Maidah. Tapi bukan masa prime time. Kasus itu sudah digulirkan sekian lama dan memunculkan serangkaian aksi. Mulai dari aksi bela Islam hingga persidangannya. Rangkaian masa kritis ini ternyata bisa dilewati Ahok dengan sukses. Bahkan dengan aksi besar 212 sekalipun, Ahok terbukti bisa jadi gladiator paling kuat dalam killing ground itu dengan perolehan suara 42% di putaran pertama. Dengan demikian, Ahok dengan stigma ‘penista agama’ pun ia sudah punya loyalis 42%, yang tampaknya sudah tak bisa digoyang lagi secara signifikan. Kalaupun propaganda yang sama diulang-ulang, 42% ini sulit bergerak jauh.
.
Kemudian, bagaimana caranya 42% Ahok ini bisa terungkit?
Propaganda adalah bagian dari sebuah operasi yang tujuannya pengkondisian. Operasi itu tidak bisa diulang-ulang terus bila sudah sampai di puncaknya atau market telah terkondisi. Dan yang terkondisi itu 42%. Untuk meningkatkannya, tak bisa lagi menggunakan operasi yang sama. Hanya tinggal satu operasi yang belum dijalankan untuk mengungkit daya saing: mendegradasi Anies-Sandi di masa-masa prime time dengan cara menciptakan killing ground buat mereka berdua.
.
Sepengamatan saya, baik Anies maupun Sandi punya banyak kasus seksi yang sangat mungkin di eksploitasi di masa prime time. Eksploitasi tujuannya bukan untuk membuktikan Anies-Sandi bersalah, tapi pengkondisian jelang pencoblosan (lihat kasus Antasari, sepi kan?). Namun saya tunggu-tunggu sampai H-1, killing ground ini tak juga muncul. Kalau tak muncul sampai hari-H, yang berlaku rumus sederhana: 42% milik Ahok tak bergerak, dan itu tak akan cukup membuat dia jadi pemenang. Ternyata benar. Dari hasil quick count, perolehan suara Ahok putaran ke-2 tak beda jauh dari putaran ke-1. Alasannya simpel: karena tidak diungkit dengan operasi baru.
.
Di sisi lain, tak mungkin kelompok Ahok tak menyimpan materi exploit ini, dan tak mungkin juga kelompok Anies tak bersiap-siap. Tapi kenapa killing ground Anies-Sandi tak juga muncul? Saya tidak tahu. Dan inilah yang saya sebut missing link. Hanya diketahui oleh mereka yang berada di balik layar yang hidup dengan politik sebagai seni mengelola kemungkinan.
.
IMBALAN
Politik itu seperti kalkulator; hanya bisa bekerja baik bila ada simbol pembagian. Politik kita memungkinkan terjadinya pembagian kekuasaan, bukan dijalankan secara totaliter dengan partai/penguasa tunggal. Pengelolaan kekuasaan tak hanya seni memenangkan pertandingan, tapi juga seni merangkul lawan dan berbagi sumberdaya. Kubu Amerika Serikat harus rela menyerahkan sebagian Eropa kepada Uni Sovyet agar agenda mereka untuk mendominasi dunia tetap bisa berjalan tanpa kisruh perang terbuka selanjutnya.
.
Seperti yang kita tahu, Ahok bukan orang sembarangan di negeri ini. Di belakangnya adalah para partai penguasa. Bahkan tak berlebihan bila menyebut dia sebagai ‘kesayangan’ Jokowi — presiden yang memegang kendali penuh atas alat-alat negara strategis seperti intelijen, militer dan kepolisian. Secara alamiah penguasa akan terus mempertahankan dan memperluas kekuasaannya. Bukan urusan sulit bagi penguasa untuk mengeksploitasi kelemahan lawan politik, termasuk membuka killing ground dengan segala sumberdaya yang mereka punya. Tapi killing ground itu tak juga muncul. Mungkin ada yang berpendapat bahwa akan ada pergolakan hebat bila penguasa berani mengeksploitasi kelemahan Anies-Sandi di masa prime time. Tapi toh itu tidak terbukti di putaran pertama ketika Agus dikalahkan oleh gladiator bernama Antasari Azhar yang tiba-tiba masuk arena.
.
Politik kekuasaan juga bukan laga sepak bola satu babak. Tapi marathon panjang. Seperti juga kemenangan, kekalahan juga bisa jadi bagian dari strategi. Perang selamanya adalah seni muslihat yang dimenangkan dengan cara-cara yang tak tampak. Tidak dibukanya killing ground di putaran ke-2, berkonsekuensi ada harga yang harus dibayar sebagai kompensasi.
Apa itu? Saya tidak tahu.
Mungkin kebebasan Ahok di pengadilan, berlanjutnya reklamasi, pembagian anggaran proyek, atau Alexis tidak jadi ditutup (hahaha).
.
Kita mungkin melihat politik Indonesia sebagai hitam-putih. Namun dua axis utama politik negeri ini, Jokowi dan Prabowo, tidak menjalankan politik kekuasaan ala Trump dan Kim Jong Un. Mereka layaknya dua mahaguru silat aliran berbeda yang tak sejalan, tapi masih bisa duduk bareng ngopi sambil cekikikan, saling menghormati dan melempar salut. Soal murid-murid adu jurus dan adu bacok tiap papasan di jalan, ya memang seperti itulah jalan cerita tiap komik silat.
.
Semoga Tuhan selalu bersama Anies-Sandi dan warga Jakarta. (*)
#Opini #AhokDjarot #AniesSandi #PilgubDKI

Sumber : Status Facebook Hilman Fajrian

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed