Oleh : Feriawan Agung Nugroho
Rumah mungil ukuran 8×6 meter dengan 2 kamar. Dinding batako. Genteng tipis model lama. Tanpe eternit.
“Masuk Pak”, kata pemuda usia 19 tahunan yang menyapa.
Di dalam tidak ada perabotan yang berharga. Hanya satu HP yang masih tertancap charger di dinding.
Ini adalah rumah dari salah seorang anak asuhan saya. Anaknya merengek pengen pulang. Katanya tidak betah di Balai kami. Pemuda di hadapan saya ini kakaknya.
“Ibu ada?” tanya saya.
“Kerja, Pak”
“O…lha Masnya?”
“Saya belum bekerja. Masih nganggur, Pak”
Dari cerita Masnya ini, diketahui pendapatan ibunya sebagai pelayan toko adalah 40 ribu per hari. Jika dipotong untuk makan dan kebutuhan rata-rata sehari, maka mereka hanya bisa menyisihkan 10-20 ribu saja.
“Sudah lama menganggur, Mas?”
“Sejak 6 bulan lalu.” Lha? Suwi tenan.
“Terus di rumah gak ngapa-ngapain?”
Menggeleng.
“Dulu kerjanya apa?”
“Tukang bersih-bersih, Pak”
“Kenapa berhenti?”
“Dipecat, Pak”
“Dipecat?”
“Iya Pak. Karena sering gak masuk kerja ketika kasus Bapak.”
Salah satu alasan saya mengasuh adik Masnya ini adalah karena si anak tidak bersekolah. Si ayah kerap melakukan KDRT kepada istrinya dan anak-anaknya. Akibatnya si ayah ditangkap polisi dan kemudian diproses hukum. Selama proses itulah si Masnya ini mengantar ibunya. Selama itu pula dia mangkir kerja, sampai akhirnya dipecat.
“Padahal, Mas. Adik Mas akan saya pulangkan kembali ke sini. Ke rumah ini. Katanya tidak betah di sana. Pengen balik. Gimana tuh Mas?”
Masnya tersenyum kecut. “Gak tau Pak”.
“Sampai sekarang masnya masih menganggur?”
Mengangguk.
“Kalau mungkin saya bisa bantu modal, kira-kira masnya pengen usaha apa?”
Dengan cepat masnya menggeleng.
“Saya maunya ikut orang saja, Pak.”
“Mosok gak ada pikiran untuk usaha gitu Mas?”
Menggeleng. “Gak kepikiran je Pak”
“Dulu waktu jadi tukang bersih-bersih gajinya berapa, Mas?”
“Ya…sekitar dua juta, Pak”
“Kalau misal saya usahakan sepuluh juta untuk bantuan modal. Masnya mau gak?”
Menggeleng.
“Kan bisa tho mas, untuk jualan angkringan, jualan pulsa, jualan pakan burung, atau apalah. Ini kan deket jalan besar, Mas?”
“Lha kan di sana juga udah banyak, Pak.”
“Tapi kan rame mas. Atau julan cilok keliling.”
Menggeleng.
“Hasilnya kan gak tentu, Pak”
“Bisa kok mas ditentukan. Misalkan saja cilok. Keuntungan cilok kan 50 persen mas. Katakanlah mas jualan cilok harga 5 ribu per porsi, untungnya sudah 2.500. Jadi kalau mau penghasilan sebulan 4 juta misalkan. Maka per minggu mas harus untuk 1 juta. Per hari kan berarti harus kejar untung 1/6 juta atau setidaknya 166 ribu. Omset berarti 320.000. Itu dibagi 5000 maka hitungannya per hari Cuma laku 64 porsi mas. Kalau bisa ngetem di sekolah, di tempat rame, di pasar, di pom bensin, kan bisa itu mas kekejar. Gimana?
Masnya tersenyum dan tetap menggeleng. Tangannya disilangkan. Sedakep dan memandang pesimis.
“Lho. Saya serius Mas. Akan saya carikan modal. Gak usah pakai bunga.”
“Saya maunya ikut orang saja, Pak. Gak mumet, dapat bayar.” Ealah…
“Selain itu? Apa gak ada?” tanya saya memaksa.
“Ya..apa ya? Kayaknya saya pengen kerja di pelayaran, gitu Pak.”
“O…lha kalau gitu, gimana kalau Mas saya sambungkan untuk ikut kursus atau pelatihan. Biar bisa dapat sertifikat. Gimana kalau saya carikan, Mas?Biayanya saya tanggung, gitu?”
“Wah…….” lagi-lagi dia tersenyum dengan wajah sedikit meremehkan.
“Saya sudah pernah, Pak. Ndaftar di BLK. Gak keterima.”
“Ya kalau gitu saya carikan chanel gitu biar diterima, Mas? Biar gak nganggur terus dan nanti adikmu bisa segera pulang gitu.”
“Hm..gimana ya, Pak…Nggak kayaknya. Pengennya yang langsung kerja.”
Oalah cah iki. Lha kerja di Kapal itu kan ya butuh kursus bahasa asing, sertifikat keahlian, dan lain-lain. Dimodali gak gelem. Dikursuske gak gelem. Maunya langsung kerja. Lha kalau saya punya kerjaan ya gak mungkin tak serahno anak model ingah ingih begini.
Terus….adiknya yang jadi anak asuhku gimana? Heis jian marai mumet. (*)
Sumber : Status Facebook Feriawan Agung Nugroho
Comment