by

Mewabahnya Budaya Jilbab Akibat Al Ahzab 59 Dimanipulasi

PERTAMA : TERJEMAHAN DIUBAH2
 
Terjemahan dari Al Ahzab:59 yg banyak beredar di masyarakat, sbb
 
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا
 
Hai Nabi, katakanlah kepada istri2mu, anak2 perempuanmu dan istri2 orang mukmin, “Hendaklah mereka MENUTUPKAN JILBABNYA KE SELURUH TUBUH mereka.” Yang demikian itu agar mereka LEBIH MUDAH DIKENALI, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al Ahzab : 59)
 
Ada banyak titik yg harus dikoreksi pada terjemahan di atas
1. “Yudniina” yg artinya “mendekat/mendekati/mendekatkan”, 
kok diterjemahkannya : 
“MENUTUPKAN KE SELURUH TUBUH”. 
Sungguh sangat artifisial, mengada2. Dengan terjemahan yg mengada2 (“menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”), selain merupakan pelanggaran, bahkan kejahatan, juga mengakibatkan kejanggalan yg mencolok. 
Bagaimana mungkin dg seluruh tubuh yg tertutup dikatakan :  “dengan demikian mereka lebih mudah dikenali”..
 
2. “JALAABIIBIHINNA” yg arti sebenarnya ” jilbab2 mereka”, diterjemahkan dg “jilbabnya”. Mungkin kelihatan sepele, tapi terjadi perubahsn konotasi yg sangat signifikan dan tampaknya disengaja (tendensius). “Jilbab mereka” itu sebentuk frase dari 2 kata yg berhubungan kepemilikan, maka maknanya “jilbab milik mereka”. Hal ini sangat jelas menyatakan bahwa jilbab itu adalah model pakaian yg merupakan milik (produk budaya) mereka yg sudah ada sebelum ayat ini diturunkan,  bukan model yg ditetapkan “dari langit”.
 
4. YÛDZAIN artinya bukan “diganggu” melainkan “disakiti” perasaan. Misalnya: diejek, dicemooh, ditertawakan dsb. Yg justru sangat memungkinkan dialami mereka yg berpakaian tanpa mengindahkan nilai2 etika dan estetika dengan alasan “syar’i, padahal mengada2.
 
Terjemahan yg benar, lurus dan seadanya tanpa tendensi apapun adalah seperti berikut ini :
 
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri2mu, anak2 petempuanmu dan para perempuan orang2 mukmin, hendaklah mereka mendekat (menjadikan diri mereka dekat) dg jilbab2 mereka. Dengan (jilbab) itu mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak disakiti. Dan Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
 
KEDUA : MENGUBAH KONTEKS KALAMULLAH ( يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن  مَّوَاضِعِهِۦ )
 
Rumusan kalimat (redaksi) : “hendalah mereka dekat dari jilbab2 mereka, dengan begitu mereka lebih mudah dikenal dan tidak disakiti”. Ini bukan rumusan redaksional dari suatu rambu2 hukum (“syari’ah”) yg berkaitan dengan urusan “wajib” dan “dosa”, melainkan suatu arahan perilaku “sadar budaya”, karena “jilbab mereka” itu adalah produk budaya mereka yg merupakan salah satu ciri untuk dikenalinya qobilah (bangsa) mereka.
 
Apa yg dikenali ttg seseorang melalui model busana yg dipakainya..? Tentu “dari bangsa/suku mana”. Hal ini sangat selaras dg kebijakan Allah : “menjadikan manusia itu berbangsa2, bersuku2 agar mereka saling    menenali” (Al Hujurot : 13). Selaras pula dengan fitrah manusia dimana setiap bangsa (etnis) ingin dikenali budayanya oleh bangsa lain, bahkan mereka berusaha mempromosikan budaya mereka itu.
 
Lebih lanjut Allah menyatakan : “dan mereka tidak akan disakiti”. Seseorang yg tampil dg ciri khas budaya bangsanya, bagaimanapun model tampilannya, tidak akan diejek orang, malah sebaliknya, akan menuai respek, dan orang2 tidak akan berani mengejek atau mencemooh, karena yg terkena ejekan itu bukan hanya seseorang ybs, tetapi juga bangsa (qobilah) pemilik budaya tsb. Sangat logis dan faktual jika Allah menyatakan : “dengan begitu mereka tidak akan disakiti”. (Catatan: “adzaa – yûdzii” itu artinya disakiti perasaan, bukan fisik, dan bukan pula “diganggu”)
Fenomena saling menghargai dan tidak saling mengejek ini Allah tegaskan pula pada Al Hujurot : 11, dimana para PEREMPUAN disebut secara eksplisit.
 
Memakai pakain yg merupakan ciri budaya bangsa itu BUKAN sesuatu yg WAJIB secara hukum. Bangsa Arab saja sebagai pemilik budaya JILBAB itu tidak mewajibkan warganya, banyak di kalangan mereka yg tidak memakainya secara tetap dan selalu. Demikian pula dg bangsa2 manapun dg pakaian adat/budayanya masing2.
 
Fenomena tsb sudah merupakan fitrah manusia, begitulah Allah menciptakan sifat dan tabiatnya. Maka dari itu, Al Ahjab : 59 juga tidak diujungi dg klausul peringatan ataupun sangsi sebagaima pada rambu2 aturan, melain justru klausul yg beraura damai dan kasih sayang, yaitu : “dan Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
 
Sungguh sangat jelas sekali, dilihat dari sisi manapun, Al Ahzab : 59 itu konteksnya bukan aturan hukum (“syari’ah”). Dan juga ayat tersebut sama sekali bukan wacana terkait kusucian, ketaatan, menutup aurat dsb (wacana ttg ini ada pada An Nur:31 yg sudah saya bahas pada tulisan lain sebelum ini), melainkan wacana tentang SADAR BUDAYA,  ARAHAN PERILAKU BUDAYA yg berefek pada KEDAMAIAN dalam KEBHINEKAAN, KEINDAHAN PELANGI BUDAYA.
 
KETIGA : SUBSTANSI LAIN DIABAIKAN (وَنَسُواْ حَظّٗا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِ )
 
Sumber : Status Facebook Uju Zubaedi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed