by

Metodologi Ilmiah dan Kerancuan Berpikir

BEGITU JUGA PERNYATAAN DOKTER TIDAK BOLEH BICARA MASALAH AGAMA. INI MENUNJUKKAN YANG BERKATA SAMA SEKALI TIDAK PAHAM METODOLOGI ILMIAH DAN ATURAN MENYAMPAIKAN ILMU.

Selama dokter tersebut hanya sekedar mengutip atau merefer para ulama dan tidak menentang tafsir para ulama, ya tidak masalah.

Lain cerita kalau ‘mencetuskan tafsir baru’, ‘inspirasi baru berdasar al-qur’an’, menyelisihi tafsir para ulama. Sudah bisa dipastikan salah dibanding benarnya. Ini kaidah:

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

“barang siapa siapa yang berkata tentang Al Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah” [2].

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” [3].

.

Demikian pula SIAPAPUN YANG MENCETUSKAN ‘TEORI BARU’, MENENTANG KEBENARAN UMUM YANG DISEPAKATI, tidak perduli apapun gelarnya, maka HARUS SIAP MEMBUKTIKAN DENGAN DIUJI OLEH PARA AHLI DI BIDANGNYA, umumnya lewat lembaga formal (penelitian atau sekolah resmi di universitas). Sehingga pendapat yang ‘nyempil’ jika teruji dan terbukti bisa menjadi kesepakatan umum. Itulah kebenaran.
.

Jika mencetuskan teori/terobosan baru (bahasa kerennya ‘scientific breakthrough’) tapi tidak teruji, sudah begitu tidak sesuai bidang dan menentang penelitian yang sudah disepakati, ya ibarat ngajak ke gurun pakai pakaian selam. Sesat menyesatkan. Sudah sepatutnya otak logis anda skeptik bukan malah terpesona.

Gimana mau membahas qiyas, kalau ilmu mantiq dasar tidak menguasai?

Saya pribadi bukan tipe orang yang suka membawa gelar sebagai justifikasi kebenaran ketika berbicara sesuatu. Sedapat mungkin tulisan selalu disertakan referensi.

Agar apa? Agar apa yang saya tulis BUKAN PENDAPAT PRIBADI SEMATA, tetapi BUKTI SHAHIH DARI HASIL PENELITIAN MAUPUN DALIL. Pendapat pribadi saya tidak ada artinya.

Referensi:

1. Majmu’ah Al-Fatawa, 19: 177
2. HR. Tirmidzi no. 2952. Hadits ini diperselisihkan statusnya, dihasankan oleh sebagian ulama, didhaifkan oleh yang lain.Syaikh Ibnu Baz dalam Fawaid Ilmiyah min Durus Baziyah (8/111) mengatakan: “mengenai derajat hadits ini ada perselisihan yang ringan, namun maknanya benar”
3. (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Sumber : Status facebook Mila Anasanti

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed