by

Mesranya Hubungan Israel-Arab Saudi

 
Baru-baru ini, situs berita Arab Saudi, Elaph memuat wawancara dengan Letnan Jenderal Gadi Eisenkot yang menegaskan kemitraan strategis antara Arab Saudi dan Israel. Media terbesar di Israel seperti Haaretz dan The Jerussalem Post memuat berita tentang Aliansi Arab Saudi-Israel. Bahkan, menurut kedua media tersebut, Muhammad bin Salman (MBS) secara diam-diam ditengarai telah melakukan kunjungan ke Israel pada September lalu.
 

Hubungan mesra Arab Saudi-Israel bermula dari MBS. Sejak ditunjuk sebagai Putera Mahkota menggantikan Muhammad bin Nayef, MBS langsung mengambil kebijakan besar untuk menggempur Houthi di Yaman dalam rangka membendung pengaruh Iran yang terus menguat di kawasan. Pengaruh Iran di Irak, Suriah, dan Lebanon semakin menguat. Belum lagi, hubungan Iran dengan Turki, Qatar, dan Uni Emirat Arab terus membaik.

Pengaruh Arab Saudi di kawasan terus menyusut bersamaan dengan terus menurunnya harga minyak. Belum lagi stigma Arab Saudi di balik meluasnya kelompok ekstremis dan teroris, yang menyebabkan citra Arab Saudi di dunia dan kawasan kurang mendapatkan simpati.

Kini, Arab Saudi harus memulihkan itu semua dengan melakukan terobosan dan langkah besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri, Arab Saudi melakukan reformasi keagamaan secara total dengan mendeklarasikan Islam Moderat. Ia memperbolehkan perempuan mengemudikan kendaraan, menonton sepakbola di stadion, dan kembali digelarkan konser musik. Untuk pertama kalinya, penyanyi kondang Arab: Kadzim Saher dan Cheb Khaled akan menghadiri konser musik di Jeddah dan Riyadh. 

Tidak hanya itu, MBS juga menangkap ribuan ulama dan khatib Jumat yang mendakwahkan kekerasan: ekstremisme dan terorisme. Fatwa terbaru ulama berpengaruh di Arab Saudi, yaitu umat Islam dibolehkan melaksanakan salat di gereja. Bahkan, ulama tersebut juga mengutip Sirah Nabi Muhammad SAW tentang umat Kristen Bani Najran yang diperkenankan Nabi untuk melakukan kebaktian di Masjid Madinah.

MBS ingin membuktikan bahwa “Arab Saudi Jaman Now” akan sangat berbeda dengan “Arab Saudi Jaman Old“. Pertemuan antara Pengurus Nahdlatul Ulama dan Kedutaan Arab Saudi di Jakarta juga semakin mengukuhkan “Arab Saudi Jaman Now“. Islam moderat sudah tak terbendung di Arab Saudi, dan Wahabisme akan wassalam.

Di luar negeri, Arab Saudi mengirimkan pesan yang kuat untuk membendung pengaruh Iran. Serangan besar-besaran ke Houthi di Yaman yang konon biayanya per hari mencapai 1 miliar dolar AS dan blokade terhadap Qatar merupakan pesan penting bagi Iran dan siapapun yang bekerja sama dengan Iran. 

Namun pada titik ini, Arab Saudi justru terlihat kelemahannya. MBS tidak memperhitungkan bahwa negara-negara Arab di kawasan sudah tidak bisa didikte lagi oleh Arab Saudi. Iran dan Qatar tumbuh sebagai negara yang berpengaruh secara militer dan ekonomi, baik karena kemitraan strategis dengan negara-negara adidaya, seperti Rusia, Eropa, dan China maupun karena kepemimpinan yang efektif dan demokratis. Iran dan Qatar juga menjelma sebagai negara berpengaruh, karena ekspansi media yang dimilikinya. Stasiun televisi Al-Jazeera dan Al-‘Alam mampu menandingi gurita media Arab Saudi.

Langkah MBS untuk menggempur Yaman sampai saat ini belum menunjukkan keberhasilan. Bahkan Houthi berhasil mengirimkan rudal ke perbatasan di Riyadh. Houthi konon mendapatkan sokongan penuh dari Hizbullah, dan Iran.

Sudah dua tahun MBS memimpin langsung serangan terhadap Houthi di Yaman, tapi tidak ada tanda-tanda Houthi akan kalah, melainkan justru makin kuat. Sementara, ada jutaan warga Yaman yang sudah tewas, terluka, dan terserang kolera. Human Rights Watch menegaskan ada kejahatan perang di Yaman yang jelas-jelas dilakukan oleh Arab Saudi.

Maka dari itu, MBS terus bermanuver untuk membendung pengaruh Iran, bahkan mengirimkan sinyal untuk menyerang mitra strategis Iran di Lebanon, Hizbullah. Untuk mencapai ambisinya, MBS menggandeng Israel yang mendapatkan mandat langsung dari Donald Trump. 

Tentu saja, untuk melawan Iran, MBS membutuhkan kekuatan yang luar biasa. Secara kebetulan Donald Trump dan Netanyahu mempunyai agenda politik luar negeri yang sama untuk melawan Iran. Menurut Israel, negara di kawasan yang mengancam eksistensi Israel hanya Iran. Pandangan yang sama juga dianut oleh Arab Saudi. Kepentingan yang sama antara Arab Saudi, Israel, dan dukungan penuh Amerika Serikat era Trump telah memantapkan MBS untuk melakukan manuver politik yang tidak biasa terhadap Iran.

Maka dari itu, Arab Saudi bersama-sama dengan Israel untuk melawan Iran. Padahal Arab Saudi selama ini relatif keras terhadap Israel. Kita masih ingat, hingga sekarang ini siapapun umat Islam yang di paspornya terdapat stempel Israel, maka ia tidak akan bisa masuk ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah umrah dan haji. 

Kabar perihal hubungan mesra antara Arab Saudi dan Israel juga bisa dilihat dari opini publik di dalam negeri kaya minyak itu. Menurut survei terbaru dari IDI Institute for Policy and Strategy, hanya 18% warga Arab Saudi yang menganggap Israel sebagai musuh, 22% menentang ISIS, dan 53% mengecam Iran. Artinya, ada perubahan besar di dalam negeri Arab Saudi. Mereka lebih benci terhadap Iran daripada Israel (World Affairs, 2017).

Namun, semua itu tidak mudah bagi Arab Saudi. Palestina hingga saat ini masih belum merdeka. Israel terus melakukan penjajahan terhadap Palestina. Yang teranyar, Amerika Serikat akan menutup kantor PLO di Washington. Itu artinya Israel tidak punya niat baik untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina.

Pada titik ini, aliansi Arab Saudi-Israel akan kehilangan moralitasnya. Di saat negara-negara Arab yang lain, bahkan mayoritas negara Muslim mengecam penjajahan Israel terhadap Palestina, justru Arab Saudi semakin mesra dengan Israel. Apalagi jika kedutaan Israel resmi dibuka di Riyadh, maka tidak terbayangkan respons dari dunia Arab dan dunia Islam pada umumnya.

Walhasil, Arab Saudi di tangan MBS sedang melakukan pertaruhan politik yang tidak mudah. Mungkin ia bisa memenangkan pertarungan di dalam negeri Arab Saudi, tetapi akan menghadapi tantangan yang tidak besar dari dunia Islam. 

(Zuhairi Misrawi intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta. Sumber tulisan: Detik.com)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed