Oleh : Suci Handayani
Seru dan semakin memanas. Lagi-lagi Gubernur DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama (Ahok) kembali membuat pusing tujuh keliling. Setelah ia dengan gagah berani memutuskan untuk maju menjadi bakal calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen, kali ini ia kembali mengacak-acak ‘membuka borok’ parpol dengan bicara lantang mengenai ongkos politik yang harus disetor calon kepala daerah kepada partai politik pengusungnya.
Ia dengan lugas menyebut angka 100 Miliar untuk maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada 15 Februari 2017 nanti. Angka yang sangat fantastis tersebut bukan di setorkan secara gelondongan ke parpol pengusung, tetapi lebih banyak digunakan untuk ongkos mengerakkan mesin parpol dari tingkat cabang hingga ke tingkat ranting.
Jelas dan gamblang sekali pernyataannya. Tetapi seperti biasa, apa yang disampaikan Ahok dianggap kontroversial dan hanya pernyataan yang tidak berdasar.
Parpol ngamuk, ketahuan ada yang bicara terang terangan menyebut angka yang sangat besar tersebut. Ngamuknya parpol karena sengatan Ahok telah membuat mereka mati langkah. Lantas, dengan membabi buta dan cepat mereka menyambar, klarifikasi bahwa apa yang disampaian Ahok tidaklah benar. Beramai-ramai, baik Parpol pengusung Ahok (Gerindra dan PDIP), yang mengantarkan Ahok ke kursi DKI Jakarta bersama Jokowi saling membantah. Maupun parpol lain yang bukan pengusung Ahok. Penjelasannya hanya satu, sependapat, bahwa parpol tidak meminta mahar politik. Titik. Intinya adalah tidak ada mahar politik.
PDIP yang merasa paling tertampar dan terkena ‘sindiran ’ Ahok marah dan menyangkal soal mahar politik.
Pun sama dengan Gerinda yang mengusung Ahok kala itu, bahkan Fadli Zon juga turun tangan, buka suara , menantang Ahok untuk membuktikan kata-katanya tentang ongkos politik yang mencapai nilai bombastis.
Parpol lain seperti PPP, PKB setali tiga uang. Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding seperti yang lain, menegaskan, di partainya tidak ada mahar politik. Yang ada deal tertentu yang telah disepakati antara calon dengan parpol pengusung
Parpol Pura-Pura Bodoh ?
Tentu saja, Parpol ngamuk dan menentang ucapan Ahok. Toh mereka merasa tidak menerima uang sebesar itung-itungan Ahok. Mereka merasa harus beramai-ramai membersihkan nama parpol agar masyarakat tidak menilai parpol memang tukang ‘ rampok’ duit para calon yang ingin diusungnya.
Apakah benar yang dikatakan parpol bahwa mereka tidak menerima mahar politik?
Saya kira , orang awampun akan tahu dan paham. Tidak sepenuhnya yang dikatakan parpol tersebut benar. Kenapa? Bisa dikatakan benar karena mungkin parpol tidak menerima uang sebesar itu langsung ke kas parpol, kalaupun ada uang diminta parpol, bisa jadi tidak sebanyak itu. Tetapi orang awam juga tahu, bahwa untuk maju sebagai calon bupati, gubernur butuh ongkos yang sangat banyak. Jangankan calon kepala daerah, untuk maju sebagai anggota DPRD tingkat 1, 2 dan DPR saja butuh duit yang banyak.
Saya memang tidak pernah nyalon , juga tidak pernah menjadi Tim Sukses (TS) . Tetapi pernah ada teman yang nyalon DPRD tingkat 2 saja mengatakan bahwa untuk terpilih menjadi anggota DPR di kota/kabupaten minimal 2 M harus tersedia. Belum lagi kalau untuk nyalon di DPRD tingkat 1 apalagi di DPR. Ada lagi teman yang pernah menjadi TS memberikan gambaran bahwa untuk nyalon menjadi bupati, paling tidak harus tersedia uang tunai diatas 20 M, itupun belum tentu jadi terpilih. Itu hanya ilustrasi kecil dan sederhana. Bisa dibayangkan untuk nyalon sebagai Gubernur di ‘lahan basah’ seperti DKI Jakarta yang PAD-nya besar dan mampu memberikan gaji dan tunjangan penghasilan yang sangat besar untuk kepala daerahnya. Saya bisa membayangkan angka yang harus disediakan tentulah sangat besar.
Ahok juga menjelaskan biaya segede itu banyak dihabiskan untuk mengerakkan mesin parpol dari cabang sampai ranting. Pernyataan Ahok clear kok. Saya asumsikan dengan cara sederhana, untuk satu ranting saja, saat kampanye dan sosialisasi membutuhkan uang untuk konsumsi, spanduk, MMT, baliho , kaos, dll yang membutuhkan dana puluhan juta bahkan bisa ratusan. Tinggal dikalikan saja dengan berapa ranting dan berapa cabang.
Parpol emoh mengakui adalah pura-pura bodoh dan pura-pura tidak tahu. Ya merasa tidak menerima duit mahar politik. Padahal jelas memang ada mahar yang digunakan untuk mengerakkan mesin partai. Artinya tidak salah jika Ahok mengatakan kalau ongkos nyalon lewat parpol lebih mahal ketimbang nyalon lewat independen.
PDIP Benturkan Risma dengan Ahok
Lelah menanggapi Ahok, rupanya PDIP memilih ‘nabok nyilih tangan’. Ia tidak mau lagi (paling tidak kali ini) meladeni Ahok yang energinya nggak ada habisnya. PDIP kelihatannya memilih melakukan klarifikasi lewat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang terkenal berkarakter mirip-mirip dengan Ahok. Keras, lantang, cepat gusar, tegas, tanpa kompromi. Risma dengan keras menegaskan bahwa dirinya tidak pernah membayar sepeser pun kepada PDI Perjuangan yang mengusungnya sebagai kepala daerah dalam dua periode Pilkada Kota Surabaya.Bahkan ia berani sumpah atas nama Tuhan kalau tidak mengeluarkan mahar politik . “Saya berani sumpah atas nama Tuhan, lagi pula saya juga tidak punya uang,” kata Risma, Jumat (11/3/2016) di Surabaya, Jawa Timur, seperti yang dilangsir Kompas.com.
Bagi saya, PDIP segaja membenturkan putra-putri terbaik bangsa yang mampu membawa kemajuan bagi daerahnya. Melalui tangan dan bicara Risma, kadernya yang mumpuni, PDIP menyangkal pernyataan Ahok. Ia ingin membuktikan bahwa yang bicara adalah orang yang terlibat langsung, yang usung langsung oleh PDIP saat Pilkada. Jadi ada bukti dan saksi hidup, tidak mengada-ada.
Dengan cara yang dilakukan PDIP, maka saya tidaklah heran jika hari ini, besuk atau lusa, kader PDIP lainnya seperti Ganjar Pranowo juga akan diminta untuk buka suara untuk membersihkan parpolnya dari cubitan Ahok.
Kita tunggu saja .
Sumber tulisan : Kompasiana
Sumber foto :kabarngawur.blogspot.com
Comment