by

Menyoroti Polri Lawan Hoax

 
Ketika Polri membongkar dan menangkap jaringan akun Muslim Cyber Army (MCA) Family seharusnya kita mengacungi jempol Polri karena sudah bisa melakukan itu dengan baik.
Anehnya, ada yang berkata nyinyir, “Itu rekayasa untuk mengalihkan perhatian,” dan ada yang mempersoalkan penyebutan secara eksplisit nama MCA kepada publik yang, katanya, bisa memojokkan umat Islam. Tetapi, alasan untuk mengatakan itu tidak masuk akal.
 
Polri tidaklah salah ketika menyebut nama akun tersebut. Jika Polri melakukan penindakan kemudian tidak menyebut nama kelompok (akun) yang digunakannya justru bisa lebih salah lagi. Masa iya, menindak tanpa menyebutkan dengan jelas siapa yang ditindak dan apa nama kelompoknya? Kalau bertindak seperti itu Polri bisa dianggap membuat hoax sendiri karena menindak satu kelompok yang tak ada identitasnya.
 
Bisa juga dituding melakukan operasi senyap yang merugikan kelompok tertentu atau berbagai tudingan lainnya. Jadi, sudah benarlah Polri menyebut nama MCA Family dan nama-nama mereka yang ditangkap.
 
MCA Family itu jelas merupakan fakta sebagai akun produsen dan penyebar hoax jahat yang dipergunakan oleh pelaku-pelaku yang jelas identitasnya. Masa harus didiamkan atau disembunyikan identitasnya? Kelompok seperti itu memang harus ditindak  tegas. Apa lagi isu-isu yang dilontarkannya selama ini memang “mengatasnamakan” pembela Islam untuk membuat keresahan dan disintegrasi sosial.
 
Adalah benar pendapat bahwa pembuat akun MCA Family dan pendukung-pendukungnya adalah perusak Islam dan perusak citra umat Islam. Mereka yang merasa dirinya sebagai barisan Muslim Cyber Army yang benar dan tidak menyebarkan hoax (melainkan hanya berdakwah atau berjuang secara baik) seharusnya ikut membantu Polri bersama masyarakat untuk membongkar dan menindak sindikat MCA Family.
 
Berita hoax yang menyebarkan kebencian, fitnah, adu domba antargolongan merupakan tindakan yang membahayakan kita sebagai bangsa yang bernegara. Baru dua hari lalu (Kamis, 8 Maret 2018) kita dikejutkan oleh berita terjadinya bentrok antara penganut Islam dan penganut Budha di Sri Lanka yang sampai menelan korban jiwa karena diprovokasi oleh hoax.
 
Secara hukum di Indonesia ini kita sudah mengantisipasinya melalui UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni UU Nomor 11/2008 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 19/2016. Di dalam UU ITE tersebut diatur ancaman hukuman yang tegas atas penyebar berita bohong yang disebarkan melalui media elektronik, tepatnya transaksi elektronik.
 
Menurut Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 45 (2) UU Nomor 11/2008 serta menurut Pasal 45 ayat (10) UU Nomor 19/2016, siapa pun yang melakukan penyebaran berita bohong dengan unsur tertentu bisa dijatuhi hukum pidana penjara selama enam tahun dan atau denda Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Tepatnya, “Setiap orang yang dengan sengaja dan/atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebabkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.
 
Dan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, antargolongan” diancam dengan hukuman pidana 6 tahun dan/atau denda sebesar Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
 
Jika  menyangkut  fitnah, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, dan sebagainya terhadap orang perseorangan maka sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 50/PUU-VI/ 2008 tanggal 5 Mei 2009, pelaku transaksi elektronik yang seperti itu bisa dihukum dengan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana diatur di dalam Pasal 310 (menista), Pasal 311 (memfitnah), Pasal 315 (menghina, mencemarkan), dan sebagainya dengan menggunakan Pasal 27 UU ITE.
 
(Sumber: Sindonews)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed