by

Menuju Konfederasi Nusantara

Oleh: Kajitow Elkayeni
 

Salah satu hal hipokrit yang dibentuk oleh Indonesia bersama beberapa negara lain adalah organisasi supranasional bernama ASEAN. Organisasi global antar banyak negara ini digadang-gadang sebagai pemersatu negara anggotanya. Barangkali disertai dengan cita-cita luhur untuk merapatkan bangsa serumpun dalam satu ikatan persaudaraan. Tapi begitu membaca Prinsip Utama dan Prinsip Dasar, yang ada hanya lelucon.

Negara-negara ASEAN masih sangat sangat primitif untuk melangkah pada pemikiran seterbuka supranasional atau intergovernmental. Rasa nasionalisme tidak diimbangi dengan internasionalisme dan kepentingan regional. Akibatnya, untuk menentukan batas negara saja ributnya sampai beberapa generasi. Setelah dulu ribut Ganyang Malaysia, sekarang ribut Ganyang Singapura.

Giliran Cina turut campur menganeksasi wilayah kelautan Cina Selatan, negara ASEAN hanya bisa menjerit seperti bocah kecil kehilangan mainan. Tidak ada tekanan berarti selain kecaman di media. Giliran negara-negara maju menguasai sumber daya alam, ASEAN hanya bisa menggandeng tiga negara sebagai mitra, Jepang, Cina, India. Bukan sebagai kekuatan yang memberi tekanan, tapi sekali lagi hanya objek perebutan pengaruh.

Sepertinya ASEAN memang diciptakan untuk ajang main organisasi-organisasian, bukan didasari oleh semangat untuk membentuk konfederasi. Karena itulah faktor mendasar seperti nama, bahasa persatuan, lagu kesatuan, menggunakan bahasa Inggris. Ini sangat menyedihkan. Negara-negara bekas jajahan yang tak memiliki identitas. ASEAN memang memiliki nama lokal, yaitu Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (PERBARA), tapi nama itu tenggelam dalam inferioritas. Tujuan ASEAN juga hanya sebatas demi kesatuan ekonomi (inipun sangat terbatas), bukan kesatuan politik.

Dalam catatan sejarah, kita memang telah pandai main organisasi-organisasian. Masih ingat dengan Non-Blok? Konferensi Asia Afrika? Cita-cita yang begitu besar. Tapi apa yang bisa diperbuat organisasi-organisasi itu? Nol besar. Jikapun ada barangkali hanyalah omong besar.

Ada kabar terbaru yang menyebutkan, Bahasa Indonesia hendak dipilih sebagai bahasa kesatuan ASEAN. Ini tentu kabar baik, meski sangat terlambat dipikirkan. Hal-hal pokok memang sering kita abaikan. Sesuai ciri khas negara-negara ASEAN yang kemaruk cita-cita, kita sibuk menjajaki perluasan keanggotaan dengan hendak memasukkan negara Banglades, Taiwan, Timor Leste, Palau, Papua Nugini, daripada membangun struktur yang lebih solid. Kita sibuk menumpuk cita-cita saja. Seperti gagah-gahan ingin membangun gedung tinggi, tapi lupa membangun pondasi dan tiang pancangnya.

Membiarkan ASEAN seperti sekarang ini hanya akan memperpanjang kekonyolan. Membuat organisasi kesatuan tapi tak pernah bisa bersatu. Bayangkan, antara Indonesia dan Singapura saja tidak ada perjanjian ekstradisi. Kita menciptakan jarak yang demikian jauh, lalu berpura-pura dekat dengan organisasi hipokrit bernama ASEAN itu. Antar negara ASEAN saling menyimpan dendam, saling menusuk dari belakang, seperti Thailand dan Kamboja.

Ada dua opsi yang bisa ditempuh untuk mengakhiri kepura-puraan itu. Pertama membubarkannya. Yang ke dua, membangunnya menjadi Konfederasi Nusantara. Nama Nusantara jauh lebih memiliki pijakan historis sebagai ganti ASEAN. Kita telah duhubungkan oleh sejarah sejak jaman Sriwijaya dan Majapahit. Ia juga mengandung ikatan batin yang lebih kuat. Untuk membangun Konfederasi Nusantara ini, dengan meniru Uni Eropa misalnya, ada beberapa hal yang mesti dibentuk lebih dulu. Misalnya membentuk dewan legislatif, eksekutif, lembaga peradilan tertinggi, bank sentral.

Dengan begitu, negara-negara serumpun mempunyai kerangka organisasi yang tepat. Badan yang terbentuk itu nantinya mampu menyelesaikan banyak persoalan, mulai dari ekonomi, budaya, politik, keamanan, termasuk kemampuan untuk menghajar para pengganggu di wilayah Laut Cina Selatan itu.

ASEAN memanglah sebuah konfederasi, perserikatan beberapa negara merdeka. Tapi sejak dibentuk tahun 1967, ia tidak berkembang lebih solid. ASEAN lebih mirip perkumpulan arisan. Masalah-masalah antar anggotanya saja tak bisa diselesaikan, apalagi mengatasi ancaman dari luar. Lelucon bernama ASEAN ini masih juga kita pertahankan, seperti tersenyum di depan, tapi menyimpan dendam di belakang.

Kita tentu masih ingat selogan “Macan Asia” saat Pilpres 2014 lalu. Contoh seperti itu muncul karena desakan nasionalisme tidak diimbangi pemahaman unifikasi bangsa serumpun. Banyak yang mengagumi slogan bombastis seperti itu. Kita ingin dominan dari negara-negara yang senasib. Negara-negara lemah yang terancam hegemoni kepentingan negara-negara yang lebih kuat. Kita Ingin menjadi macan di kandang domba. Padahal ketika bertemu macan-macan dunia, kita tak lebih hanyalah segerombolan domba.

Gerombolan domba itulah yang sekarang bernama ASEAN. Dan mereka terus berupaya unjuk gigi dan bermimpi menjadi macan bagi sesamanya.

 

(Sumber: Facebook Kajitow Elkayeni)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed