by

Menuju Agustus Jokowi 65%

 

Artinya, kalau elektabilitas Jokowi adalah sesuatu yang fragile, dan kapabilitas serta ruang bermanuvernya berada di kawasan futile, Jokowi butuh sebuah sentakan untuk mengangkat keterpilihannya melampaui garis psikologis 50%. Ia butuh kabar baik, butuh “kecelakaan”, butuh sesuatu yang membuatnya naik derajad. Tapi, tidak.

Fakta tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa secara perlahan pekerjaan dia selama 4 tahun mulai membuahkan hasil. Artinya, ada grafik yang memang disusun rinci dan matang bagi pertumbuhan elektabilitas. Artinya, basis pertumbuhan tersebut sudah dibangun. Artinya lagi, Jokowi mendaki pertumbuhan sejati. Meski tak ditemukan berita “sekonyong-konyong”, Jokowi memasuki masa panen.

Untuk membandingkan Jokowi dengan kompetitornya, kita masih meraba-raba. Seperti pernah saya ulas, kalau Prabowo yang kemudian tampil di panggung menantang Jokowi, pertandingan sudah selesai sebelum dimulai. Fadli Zon boleh saja bikin puisi tiap hari, atau kuda Prabowo beranak tiga setiap minggu, mereka cuma menunggu Indonesia mempermalukan Soekarno kw-3.

Tapi Gatot Nurmantyo juga belum menemukan jalan menuju panggung. Dia masih terhalang para pedagang cendol yang memadati lingkar pinggir arena. Gatot memandang ke kejauhan, berharap ada orang di atas sana yang mengenali kehadirannya. Modal 2 trilyun rupanya tak bikin mereka silau. Mantan panglima itu mulai putus asa. Apalagi mendapati Jokowi memreteli barisan, yang sekian tahun dibangun untuk meletup di hari terjanji.

Fahri Hamzah memberi kita petunjuk: akan ada pasangan yang mendaftar ke KPU pada tengah malam. Kita diingatkan pada pasangan Anies-Sandi yang mendaftar menjelang tenggat pendaftaran Pilkada DKI setelah Cikeas dan Hambalang saling bicara dan dengan Jusuf Kalla sebagai perantara. Kelihatannya Anies akan maju. Kemarin Amien Rais hadir di Balai Kota, membekali para ustadzah untuk bersuara di masa kampanye bagi pasangan islam. Dengan siapa Anies berpasangan?

SBY memberi kita petunjuk berikutnya: “Partai Demokrat akan menghadirkan pasangan pemimpin baru yang cerdas, amanah, dan mengerti kainginan rakyat.” Kita lalu paham bahwa menjelang tengah malam penutupan pendaftaran pasangan pilpres 2024, Demokrat akan datang membawa pasangan Anies-AHY ke meja KPU. Bagus? Muke lu jauh. Deket gw cubit.

Anies tidak menghasilkan apa-apa selain kesemrawutan dalam masa kepemimpinan di DKI selama 6 bulan. Dia juga tak punya kartu truf di tangan untuk 1 tahun ke depan mendongkrak elektabilitas. Juga tak kita temukan rencana berarti. Modalnya cuma satu: retorika. Dia tampak masih yakin akan hal itu. Apalagi Amien Rais siap mendukung. Masjid-masjid bakal digelorakan lagi untuk mengamplifikasi retorika Anies. Tapi nasi sudah jadi bubur.

Andai Anies belum kejeblos sebagai Gubernur DKI yang coreng-moreng, retorikanya masih mungkin bertaji. Tapi dengan sejenak saja mundur ke Kali Baru dan Tanah Abang, pembandingnya jelas. Retorika Anies hanya setumpuk kebohongan. Jejak dijital berserakan. Graphist ecek-ecek pun dengan mudah menggundulinya.

SBY mungkin masih percaya pada jaringan Majelis Pengajian yang dia bangun selama 10 tahun masa kepemimpinan. Tapi sekian juta nomor selpon sudah diputus para provider. Mereka berserakan tak jelas, sekumpulan kambing yang panik mencari suara gembala. Dan tadi malam para gembala itu hadir di Istana Bogor bertemu Jokowi. Anggota PDIP yang terbang menemui Rizieq di Mekkah rupanya pulang membawa hasil.

Posisi tawar Prabowo melemah. Fadli Zon sudah berteriak kalap minta Jokowi menghentikan pembagian sertifikat tanah. Dia gila karena menghalangi rakyat Indonesia mendapatkan haknya. Orang seperti ini memang harus disingkirkan dari Senayan. Pileg 2019 akan menghantamnya tanpa ampun.

Jadi, bagaimana?

Menyerahlah. Jangan cuma PA 212. Saya sarankan kepada semua kekuatan politik menghubungi Moeldoko atau Wiranto atau LBP untuk mengatur jadwal temu dengan Jokowi. Datanglah dengan tulus. Jangan petantang-petenteng minta ini-itu kayak pesabu sakaw karena baru menghirup setengah-G. Bertobatlah. Indonesia gemilang sedang mempersiapkan keberangkatannya.

Kalau masih ngeyel, sila cermati apa yang akan terjadi berikut ini.

Pada 13 Mei 2018 akan berlangsung parade Asian Games. Seperti berbagai kirab yang pernah diselenggarakan untuk Jokowi, parade ini akan berlangsung gemebyar. Kebesaran Nusantara, kemegahan, kegemilangan, kedigdayaan, sekaligus dengan modernitas yang telah dengan ramah dirangkul Indonesia, akan mengemuka. Rakyat negeri ini diajak berbangga dengan negerinya, bersiap bagi Indonesia-Satu yang sebentar lagi menghampiri siapa pun.

Setelah itu papan-papan elektronik, halaman media daring, kilatan cahaya di media televisi dan radio, hamburan warna di lembar surat kabar, akan memampangkan kejayaan Indonesia selama 2 bulan mempersiapkan Asian Games. Perut Anda bakal mulas, Zon…, tenggorokan Anda tiba-tiba kering, Fahri, dan bola mata Anda bakal copot, Mardani, tak sanggup berhadapan dengan gintang-gemintang yang mereka pancarkan. Pada saat itu, bahkan comberan pun tak sudi menampung kaus #GantiPresiden yang kalian hamburkan.

Lalu kita masuk ke pekan Agustusan. Seluruh kampung berpesta merayakan Indonesia 73 tahun. Jokowi berpidato di Gedung MPR pada tanggal 16 Agustus. Dan perayaan 17 Agutus menjadi puncak teriakan meriah Indonesia keluar dari keterkungkungan. Semua setan gemetar. Hantu dan genderuwo berlarian tunggang-langgang.

Maka kita tiba di tanggal 18 Agustus, pembukaan Asian Games. Itu adalah momen agung ketika Indonesia menerima kiriman enerji maha dahsyat dari milyaran penduduk Asia yang mengarahkan mata ke Gelora Bung Karno Senayan. Lelaki yang pernah dinista bertahun-tahun di pertengah 60an bangkit dari tidur panjangnya. Dia berjalan mendampingi lelaki Solo, menaiki panggung, dan membuka pesta terbesar orang-orang Asia.

Di titik itu Indonesia dikembalikan ke fitrahnya setelah separuh abad, ya: 50 tahun persis, hidup dalam perhambaan, perbudakan, penistaan, penghancuran kemanusiaan, dan dusta berkepanjangan. Di momen itu Indonesia menyalak. Asia gemetar. Dunia bersimpuh.

Sia-sia menantang kesejatian. Indonesia kali ini adalah negeri yang membangun sendiri pertumbuhannya dengan bermodal ketulusan, cinta kepada rakyat, dan keberanian menakar risiko. Utang 4,000 trilyun bukan bencana. Itu adalah angka sejati yang memberimu gambaran tentang berkah yang bakal kamu nikmati kelak.

Elektabilitas 65% di bulan Agustus sebetulnya terlalu sopan. Tapi kita bermaksud memberi peringatan kepada semua anjing dan srigala untuk berhenti menggonggong. Tak satu kebohongan punya lagi masa depan di negeri ini. Andai para setan itu masih tolol membaca tanda-tanda, pekan depan saya ulas apa yang akan berlangsung pada September dan Oktober, saat elektabilitas Jokowi mendekati kepastian tak tersangkal.

Karena itu, bertobatlah sebelum Indonesia melupakan kalian. Hentikan racauan mabuk dari mulutmu yang berbusa.

 

(Sumber: Facebook Sahat Siagian)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed