by

Menjawab Opini Tempo tentang Standar Moral Arcandra

Oleh: Gunawan
 

Pak Arcandra Tahar secara resmi telah ditetapkan menjadi WNI lagi terhitung 1 September 2016. Secara legal formal pak Arcandra bisa saja diangkat jadi menteri lagi oleh Pak Jokowi karena itu adalah hak prerogatif Presiden. Mengingat jasa-jasa pak Arcandra selama 20 hari jadi menteri bisa melakukan penghematan anggaran untuk proyek-proyek di kementerian ESDM maka beliau banyak yang tidak suka.
 
Hampir semua mafia yang telah berkutat di bidang energy ini merasa terusik oleh pak Arcandra tahar. Makanya beliau digoyang dengan kasus kewarganegaraannya yang sebenarnya hanya kesalahan administratif saja. Majalah Tempo pada 5 September lalu menurunkan opini yang menurut saya menyerang pribadi Pak Arcandra. Hal ini kemungkinan mereka lakukan untuk mendeskreditkan Pak Arcandra supaya tidak mungkinj diangkat jadi menteri lagi.
 
Berikut ini opini tempo dan akan saya jawab per paragrap.
 
Opini Tempo: Arcandra dan Standar Moral JIKA benar Presiden Joko Widodo akan mengangkat kembali Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, inilah kisah ajaib tentang pembentukan kabinet di Indonesia selama 50 tahun terakhir. Pada 1966, Presiden Sukarno pernah mengangkat Letkol Imam Syafii, yang dikenal sebagai “raja copet Senen”, menjadi Menteri Negara Urusan Keamanan Khusus. Untungnya, “Kabinet 100 hari” itu lebih pandak usianya ketimbang umur jagung. Pengangkatan menteri memang hak prerogatif presiden. Tapi, sesuai dengan sistem demokrasi yang kita anut, hak itu tidak absolut dan tidak bisa digunakan semau-maunya. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, misalnya, menyebutkan seorang menteri haruslah pertama-tama seorang warga negara Indonesia. Ketika Joko Widodo mengangkat Arcandra, bulan lalu, ia ternyata memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat. Kalau tidak, mengapa ia dipecat 20 hari kemudian?
 
Jawaban: Pak Jokowi mengangkat Pak Arcandra dan memberhentikannya adalah hak prerogatif dan itu wewenangnya penuh jadi tak ada yang salah di sana. Kalau pun setelah 20 hari diberhentikan itu untukmenunggu pak Arcandra mengurus administrasi kewarganegaraannya kembali. Dan terbukti posisi ESDM belum diisi orang baru. Jadi pak Arcandra kemungkinan besar diangkat kembali jadi menteri ESDM.
 
Opini tempo: Pemecatan Arcandra–meskipun “dengan hormat”–menjelaskan bahwa ada yang salah dalam pengangkatannya. Untuk sementara ini, yang bersalah dalam pengangkatan itu tentulah bukan Presiden, melainkan orang yang diangkat. Kalau Presiden yang bersalah, tentu ia layak dimintai pertanggungjawaban di depan hukum. Kalau yang bersalah adalah orang yang diangkat, bisakah dijelaskan tingkat kesalahannya? Sampai saat ini, kesalahannya yang nyata adalah tidak memberi keterangan yang benar sepanjang proses pengangkatan. Tidak memberi keterangan yang benar, terutama dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, identik dengan dusta. Kenyataan ini memang pahit, tapi begitulah adanya. Kepada majalah ini pun Arcandra berdusta dengan mengatakan ia mengambil kewarganegaraan Amerika karena demikianlah yang disyaratkan negara itu bagi orang yang ingin mengambil paten. Ternyata syarat pengambilan paten di sana tidak demikian. Artinya, Arcandra punya kekuatan untuk berdusta.
 
Jawaban: Opini ini sangat mendeskreditkan pak Arcandra  dan terindikasi ditulis oleh orang yang memang mencari-cari kesalahan Jokowi. Jokowi adalah manusia biasa yang tidak boleh bersalah. Seperti yang menuduh Jokowi dinabikan oleh para pengikutnya maka seperti itu pula yang ada dalam pikiran si penulis opini itu. Menuduh Pak Arcandra berbohong,berdusta,bahkan dengan bahasa standar moral itu sangat mendeskreditkan. Bisa saja Pak Arcandra memang tidak mengetahu aturan kewarganegaraannya sudah batal arena punya pasport AS. bahkan dirinya tidak pernah mengurus pasport AS tapi pihak AS lah yang menghadiahinya karena dinilai berjasa pada negara itu.
 
Opini Tempo: Inilah yang mengkhawatirkan. Dalam kasus Arcandra, kita tidak hanya berhadapan dengan masalah prosedur dan teknis, tapi dengan sesuatu yang lebih mendasar, yakni standar moral yang dipertaruhkan. Jika standar moral–dusta adalah salah satunya–sudah direlatifkan, kita bisa kehilangan pegangan tentang apa yang benar dan tidak benar. Ukuran yang baik dan yang jahat menjadi absurd, dan korbannya adalah seluruh karakter ketatanegaraan.
 
Jawaban: Sangat hiperbola, apanya yang mengkhawatirkan ini opini orang yang ketakutan akan hal yang belum terjadi seperti orang yang ketakutan dengan ramalan  dirinya bakalan punya anak yang penipu dan pendusta karena anaknya berbuat salah karena ketidak ketahuan  anaknya tentang sesuatu. Jelas sudah tujuannya adalah mematikan karakter pak Arcandra agar tidak bisa dipilih lagi jadi menteri.
 
Opini Tempo: Jika benar proses “naturalisasi” Arcandra akan menempuh jalan pintas supaya ia bisa segera dilantik sebagai menteri, cerita ini pun menusuk hati. Dalam proses yang wajar, seseorang membutuhkan lima tahun tinggal di Indonesia sebelum mendapatkan naturalisasi. Arcandra mendapat keistimewaan, dan kita ingin tahu: apa yang istimewa dari orang ini? Yang kita tahu, di masa lalu ada seorang pebulu tangkis, Ivanna Lie–yang ikut memenangi berbagai kejuaraan untuk Indonesia di gelanggang internasional–yang proses naturalisasinya memakan waktu belasan tahun. Memang ada pemimpin Gerakan Aceh Merdeka di Swedia yang mendapat status warga negara Indonesia selepas perdamaian Aceh diteken. Tapi apakah urusan Arcandra ini lebih hebat ketimbang persoalan menghentikan perang di Serambi Mekah?
 
Jawaban: Nah benar semakin kesini ketahuan tujuan opini itu untuk membunuh karakter pak Arcandra. Tuduhan jalan pintas yang tanpa bukti dan hanya opini dangkal ini semakin menjerumuskan pembaca untuk antipati pada pak Arcandra. Sudah tahulah kita siapa penjlisnya dan tujuannya untuk apa. jelas mereka adalah orang-orang yang terganggu busnisnya karena kehadiran pak Arcandra tahar sebagai menteri ESDM.
 
Opini Tempo: Mungkin Arcandra berhasil mengambil hati Presiden dengan presentasinya di sekitar masalah energi dan sumber daya mineral. Tapi itu tidak harus membuat pemerintah melanggar aturan. “Kampanye” tentang kehebatan Arcandra itu hendaknya tidak membuat kita membeli kucing dalam karung. Lebih jauh lagi: Presiden selayaknya tidak bermain-main dengan standar moral yang makin gawat–dan dalam tingkat kenegaraan.
 
Jawaban: Lagi-lagi standar moral merupakan kata-kata manis pengganti hipokrit atau munafik yang dilontarkan penulis opini kepada pak Arcandra. Menuduh kehebatan Arcandra hanya “kampanye” padahal sudah nterbukti pak Arcandra berprestasi di Amerika untuk urusan energi. Bahkan memegang patent  yang sangat oenting untuk bidang energy. Layakah lopini seperti ini dimuat oleh tempo yang katanya kredibel itu? Jawaban ini bukan karena saya mendukung pak Arcandra atau dibayar untuk melakukan ini, tapi sejujurnya saya merasa perlu menuliskan ini, karena banyak lagi nasib pak Arcandra lainnya di luar sana yang ingin kembali membangun negeri tapi terkendala karena urusan birokrasi dan administrasi yang berbelit yang bikin mereka frustasi dan mengurungkan niatnya untuk kembali membangun negeri.
 
(Sumber: Kompasiana)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed