by

Menjadi Rahmatan Lil Alamin

Tidak heran saya bisa mengerti seluk beluk kehidupan muslim terutama muslim NU. Pak Sunarto tetangga saya sering bikin acara zikir dirumahnya. Dari sela2 dinding rumah terdengar suara kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah“
Saat menyebut kalimat itu kepala mereka seperti geleng2 ke kiri ke kanan.

Cukup lama mereka mengucapkan kalimat itu. Saya tidak tahu jumlah zikirnya. Semakin di ujung semakin cepat ketukan zikirnya. Herannya, puluhan orang itu bisa serentak mengucapkannya dan bisa tepat menghitung jumlah zikirnya.

Acara tahlilan orang yang meninggal dunia juga saya tahu. Acara 7 hari. Acara 40 hari. Acara 1000 hari. Sering saya dapat makanan dari keluarga yang bikin acara tahlilan. Saya duduk manis saja di tikar saat tahlilan berlangsung. Buku kecil Yasinan jadi bacaan doa saat tahlilan.

Nah pas tiba bulan puasa, ini benar2 rezeki nomplok buat saya. Kebayang sahur dan buka puasa. Biasanya, selepas sahur teman2 saya keliling kampung. Bangunin warga dengan kentongan bambu. Anak2 kampung gerilya pake sarung.

Selepas itu kami ramai2 jalan kaki ke Pintu Gerbang Tol Tj Mulia Medan. Di sana ramai orang berkumpul. Orang menyebut asmara subuh. Banyak remaja selepas sahur nongkrong di sana. Akhirnya saling lirik, jadi deh pacaran. hehhee

Saat berbuka, ini bikin bertambah gizi saya. Semua jenis makanan menggugah selera ada. Dan hebatnya keluarga Indonesia, menu berbuka itu selalu istimewa.

Bulan puasa dianggap bulan berkah. Bulan ampunan. Bulan penuh pahala. Saya setuju, karena di bulan puasa anak2 seperti saya selalu dapat berkah. Dapat makan enak.

Selepas sholat Tarawih, biasanya kami bermain di tanah lapang. Kadang main bola api yang ditendang berkejaran. Bola api ini dari batu apung yang dicelupkan minyak tanah. Kadang dilempar ditangkap

Jika bosan, kami bermain sambar elang. Seharian bulan puasa dari subuh sampai malam adalah bermain. Saya ingat sekali masa2 puasa zaman saya kecil.

Ustad dikampung saya dulu sama seperti warga kebanyakan. Kalo berpapasan suka menegur ayah saya. “Pak Nagaaaa “, tegur Pak Ustad saat lewat depan rumah kami. Guyub, rukun, damai dan tentram. Begitu suasana harmoni beragama waktu saya kecil.

Sabtu (12/5/2018) lalu, saya hadir di Pondok Pesantren Motivasi Indonesia, Bekasi. Saya diundang Kyai Enha, pengasuh pondok. Ada Halaqah Kebangsaan yang juga dihadiri tokoh besar Prof Dr Nadirsyah Hosen PhD, Guru Besar Monash University Australia. Beliau juga Ketua PCNU Australia.

Dan juga ada Rois Am PBNU Kyai Haji Ahmad Ishomuddin. Kyai Ishom sosok pemikir utama NU. Kyai Ishom bukan saja cerdas, namun punya keberanian yang sulit dicari tandingnya.

Saat banyak ulama menolak menjadi saksi ahli untuk Ahok, Kyai Ishom berani menerima beban itu. Ujungnya, berbulan2 Kyai Ishom dihujat, dinista, diolok2. Disebut dajjal, PKI, antek aseng sudah sarapan paginya. Kyai Ishom juga menjadi saksi ahli melawan gugatan HTI di PTUN. Saya beruntung bertemu dengan beliau.

Halaqah Kebangsaan ini mengambil tema “Khilafnya Penyeru Khilafah”.

Saya hadir bersama Permadi Heddy Setya, Awan Kurniawan, Eko Kuntadhi, Mira Amir dari Solidaritas Anak Bangsa.

Di joglo Pondok, Kyai Ishom dan Gus Nadir menjadi bintangnya. Kami duduk melingkar. Senangnya kalau duduk dengan Kyai NU itu pasti awet muda. Dapat siraman rohani plus jasmani jadi bugar segar. Gimana gak segar bugar kalo tertawa sepanjang obrolan. Padahal yang disampaikan itu serius lho.

Saya membayangkan andai negeriku ini dipenuhi ulama cerdas namun rendah hati sekaliber Kyai Ishom dan Gus Nadir, alangkah bahagia dan damainya negeriku. Saya serasa seperti keluarga bersama dengan mereka.

Sore menjelang pulang, saya ditawari minum air zam zam oleh Kyai Enha.

“Bro Bir..kemari..ini teguk air zam zam biar sampeyan jadi mualaf”, ledek Kyai Enha.

Saya melangkah mendekat. Secangkir kecil dituangkan dari teko berwarna keemasan. Lalu saya teguk. Glek..glek.

“Lho Kyai..kok tiba2 saya dapat bisikan jadi cawapres Jokowi ya..”, guyon saya sambil memasang wajah serius seperti kemasukan roh halus.

Spontan semua tertawa mendengar saya membalas guyon mualaf Kyai Enha.

“Ya pantes ente jadi cawapres Jokowi bro..tapi musti muslim dulu”, ledek Kyai Enha.

“Kyai..satu mualaf Felix aja dah buat negeri ini rame..apalagi kalo saya masuk kyai”, balas saya sambil ngakak.

“Saya ini ngucap sholawat udah sering, tinggal syahadad aja yang belum kyai”, tambah saya sambil membetulkan peci hitam pemberian Kyai Enha.

Semua kami yang duduk lesehan di joglo Pondok Pesantren Motivasi ngakak pol. Benar2 cair guyub adem tentrem persaudaraan kami. Meski berbeda keyakinan tapi kami saudara dalam kemanusiaan.

Begitulah sejatinya manusia. Kita berbeda bukan untuk merasa benar sendiri, tapi saling melengkapi untuk tujuan hidup yang baik penuh kebajikan. Semuanya menjadi manusia yang manfaat bagi sesamanya. Menjadi rahmatan lil alamin.

Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga

Sumber : facebook Birgaldo Sinaga

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed