by

Menjadi Pancasilais di Tengah Kisruh KPAI vs PB Djarum

Aku sendiri Jawa-medok dengan derajat kemusliman yang entah level berapa. Setiap dosen di sana jelas bisa diterima dengan baik oleh mereka. Tak mungkin mereka berani mengusirnya karena urusannya bisa panjang –baik akademik maupun politik.

Apalagi di semester ini aku mengajar Agama dan Pancasila yang statusnya MKU –matakuliah yang harus mereka ambil jika ingin selamat. Agama apa? Agama apa saja. Termasuk yang tidak beragama. 

Agama di kampus ini diajarkan dalam sistem, aku menyebutnya, ekstraksi-universal. Setiap mahasiswa/i diajak mengenal etika dan prinsip-prinsip universal, langsung dari mereka sendiri. 

Dosen lebih berfungsi sebagai fasilitator, termasuk memfasilitasi bagaimana agar kelas bisa hidup dan menggairahkan. Jika tidak cerdik mengambil momentum dan mempersuasi, agama dan Pancasila adalah matakuliah yang, aku menduga, supermembosankan bagi para cece dan koko.

“Ayolah.. Ngomong dong. Express your feeling, your thought,” berkali-kali aku mengucapkan hal itu. Persis seperti berupaya menghidupkan lagi mobil yang sudah lama tak dipanasi. Termasuk saat meminta mereka menyampaikan kisruh KPAI vs PB Djarum.

“Sorry Pak. Kami nggak tahu soal itu,” kata seorang nonik, mendongakkan wajah tanpa perasaan bersalah. Dua tangannya masih memegang gadget, seperti Galang yang main Mobile Legend.

“Matrik akuuu!” batinku.

Aku selanjutnya memapar slide soal kisruh tersebut dan menjelaskan dengan pelan-pelan. Banyak yang mukanya sedikit berubah ketika tahu nasib dunia badminton bisa terancam karena manuver KPAI. 

“Begini saja,” lanjutku. “Ketiklah pandangan kalian menyangkut isu ini. Minimal 150-250 kata dalam waktu 15 menit. Setelah itu, kita akan bentuk dua grup; pro-kontra. Lalu kita duel,” aku menambahkan.

Mereka celingukan seperti orang asing. Sangat mungkin ini pengalaman mereka pertama kali menulis tugas via gadget. Setelah aku jelaskan sedikit, tak seberapa lama mereka langsung asyik dengan gadgetnya. 

“Do some research to make good argumentation, please,” ujarku seperti anak Jaksel. Maklum, imbas ngajar kelas international. 

Kelas benar-benar hening dalam 15 menit. Hening dalam arti sesungguhnya. Semua asyik mengetik. Sesekali aku dengar ada yang batuk. 

Duel dua kelompok tak terelakkan. Mereka saling menghunus argumentasi dengan baik berdasarkan tulisan yang mereka bikin. 

“Good..good argumentation,” kataku sembari menepuk pundak salah satu nonik yang ada di kelompok pro KPAI. 

“Tapi pak… Hati saya nggak rela kalau bulutangkis mati. Saya proDjarum. Apakah saya harus mengganti tulisan saya?” tanyanya, ada nada kekuatiran. 

Aku hanya menggeleng dan tersenyum. “Kamu bisa menulis apa saja pendapatmu dengan bebas dan merdeka,”

Ia tersenyum kegirangan. Aku sendiri lupa namanya; apakah Lishel? Agnes? Natasha? Daniella? Jacklyn? atau Elisabeth?

 

(Sumber: Facebook Aan Anshori)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed