by

Menjadi Modern, Menjadi Barat?

PADA zaman dulu kala – yang sebenarnya belum terlalu lama – tersebutlah seorang filsuf dan pujangga, pemikir kebudayaan bernama Sutan Takdir Alisyahbana alias STA. Beliau menggagas agar bangsa kita mengejar kemajuan budaya barat – agar kita sejajar dengan bangsa lain.

Masa itu, STA risau dengan peradaban Indonesia lama yang feodal dan terkungkung oleh mitos dan adat istiadat. Perlu “up grade” dan meniru Barat.

Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, zaman Indonesia adalah zaman yang baru dan tidak merupakan kelanjutan dari zaman pra-Indonesia. “Zaman yang baru membutuhkan kebudayaan yang baru, ” katanya.

Pendapat Sutan Takdir ini ditentang oleh Sanusi Pane, yang juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan – dengan mengatakan bahwa sejarah itu selalu berlanjut. Indonesia haruslah lanjutan dari pra-Indonesia.

Sanusi Pane juga mengatakan bahwa ke-Indonesia-an sudah ada dari dulu, sebelum pra-Indonesia, pada masa kerajaan-kerajaan dahulu.

Selengkapnya perdebatan opini dan perang pena di media massa antara STA, Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hadjar Dewantoro dan Adinegoro, dibukukan oleh Achiat K. Mihardja dengan tajuk “Polemik Kebudayaan” (1954 dan 2008)

Tapi mari kita kembali ke negara modern dan modernisasi.

Kita bisa melihat perkembangan kebudayan di Bali. Bagaimana orang orang Bali menjadi semakin modern namun ciri Balinya juga tetap menonjol.

Lima puluh tahun lalu Bali identik dengan pakaian terbuka. Wanita Bali tanpa atasan. Tapi kini Bali semakin rapat namun juga menjadi semakin cantik dan artistik.

Meski pantai Bali menjadi tujuan wisatawan berbikini tapi gadis gadis Bali sendiri tidak ikut berbikini.

Menjadi Indonesia modern tidak harus menjadi kebarat baratan. Jepang, Korea dan China tidak kebarat baratan. Demikian juga Bali juga tidak kebarat-haratan. Seharusnya daerah lain juga.

Menjadi bangsa religius tidak harus meniru niru negara asal negeri religus. Menjadi Islam tidak harus pakai kain kurungan ayam.

Jangan nurut apa maunya calo agama. Mereka bekerja dan dibayar agar kita dikuasai bangsa asing yang menyelinap lewat ajaran agama.

Indonesia adalah budaya besar. Kita punya identitas sendiri. Kita berdaulat secara politik, ekonomi dan kebudayan.

Dan kita sudah modern. Anak anak mengikuti pendidikan dari kurikulum nasional tidak lagi tidur dan mengaji di surau.

Di kota kota kecil pun warga tidak lagi memasak pakai kayu bakar, minum air sumur dan tidak lagi membuang sampah di sungai.

Jangan mau menampung sampah peradaban asing. Lebih khusus menampung peradaban rusak Arab! ***

Sumber : Status Facebook Supriyanto Martosuwito

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed