by

Menjadi Kristen, Menjadi Islam

Bertahun-tahun setelahnya, saya rajin ke mesjid. Jadi ‘anak mesjid’ sejak SMP sampai sekarang. Seperti gereja, mesjid selalu terasa teduh. Bertemu muka-muka teduh, ujaran-ujaran teduh. Jalan yang teduh.

Kesempatan ‘mengalami’ dua dunia tsb tapi tanpa pernah mengalami fase keharusan ‘menjudge’ yang satu benar yang satu salah, memang suka membuat saya bingung kalau berhadapan dengan satu perasaan yang dominan di lingkaran saudara muslim saya terhadap kristen: curiga. Ya, curiga. Karena ini karena itu katanya begini katanya begitu. Dari titik ‘Tuhannya tiga’ sampai ‘konspirasi Vatikan’. Tapi yang paling dominan diulang-ulang adalah: kristenisasi. Kristenisasi dengan bagi-bagi mie, itu ibarat pelajaran wajib yang diceritakan dari satu generasi ke generasi lain. Lebih tepat: seperti makanan untuk membesarkan hantu yang dipelihara.

Kenapa ya kecurigaan itu ada? Mungkin karena tidak kenal? Bukan, bukan karena itu, tapi karena kristenisasi yang masif dengan bagi-bagi mie itu memang harus dilawan. Khusus untuk ini mungkin pendapat saya cukup ‘melawan arus’, maafkan. Pertama, kalaupun ada ajakan2 berpindah agama, dan sebagian berpindah dari Islam ke Kristen, lalu dalam Kristen mereka lebih religius, so what ya? Saya kecil banyak sekali bertemu dengan orang2 seperti ini. Mbak-mbak (art) di rumah kami jadi sangat religius dalam kristen dibanding awalnya ber-Islam tapi nyaris tidak paham apapun tentang Islam. Kalau seseorang muslim yakin Islam menawarkan religiusitas yang lebih bagi mbak-mbak ini, ya ajaklah, ajarilah. Kalau tidak (bisa, mau, sempat), biarkan mereka mencari jalannya sendiri. Hak beragama atau meyakini adalah hak asasi setiap orang. Kedua, kalaupun ‘cara kristenisasi’ tertentu Anda anggap berlebihan, pahamkan bahwa oknum berbeda dengan keseluruhan. Perilaku pemeluk bervariasi tergantung karakter masing2, tapi tidak bisa dinisbahkan ke semua kelompoknya. Di masa sma & kuliah, saya dan teman-teman juga kerepotan dikejar-kejar masuk Islam jamaah, sebagian bahkan ada yang memutus hubungan dengan orangtua, akibat indoktrinasi atas nama agama yang gak bener. Pola yang sama bukan? Keinginan kuat menularkan kebenaran yang kita yakini. Di madrasah2, ustadz-ustadz melakukan pelecehan seksual pada santri-santrinya atas nama agama. Tapi itu semua perilaku orang tertentu, tidak bisa kita melabeli keseluruhan dengan kasus. Mungkin disini ya tugas Kementerian Agama dan lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI, untuk memperbanyak forum dialog, bahas keresahan2 seperti ini secara terbuka, tuntas, jembatani. Membiarkan hal beginian berkembang di bawah meja dengan segala ketidak-akuratan datanya, seperti menyimpan hantu eh bara dalam sekam.

Bara dalam sekam itu sudah seringkali meledak. Salah satunya di 212. Jadi kira-kira di 212 itu ada dua jenis muslim yang tertusuk. Bagi yang bergegas membawa sajadah ke monas, merasa tertusuk karena agamanya dilecehkan, berbalut aroma hantu2 kecurigaan diatas. Bagi sebagian lainnya, seperti saya, merasa tertusuk karena baru sadar kebencian yang dipelihara ummah ini ternyata bisa sedemikian besarnya. Pesan-pesan WA berseliweran terselubung rasa benci, semangat melawan ‘sesuatu’. Sesuatu apa, siapa? Tertusuk sangat dalam karena: ini bener, orang-orang nan teduh ini, menyimpan kebencian sebesar itu? Di titik mana, di cerita apa, sebenernya kebencian itu mulai bertumpuk? Api apa yang sebenarnya dikipas-kipaskan?

(Apakah kita diajari ‘tidak boleh bilang agama lain juga benar karena artinya gak yakin agama kita, Islam, satu-satunya yang benar’, punya andil ya? Begitu Anda menarik garis ‘kami benar vs kalian salah’, apakah perilaku ‘kami’ terhadap ‘kalian’ tidak akan terpengaruh? Jadi mudah curiga, mudah membenci? Lebih lagi, jadi punya tempat mengarahkan segala kebencian yang sumbernya mungkin entah hal lain?)

Kami. Kalian. Kami. Kalian. Beda. Dan..

Entah karena saya seorang salik (pejalan) pemula yang bodoh, tidak disiplin dan malas, atau karena pengalaman masa kecil menjadi kristen itu, sampai saat ini saya tetap tidak bisa menggunakan baju Islam saya untuk menyalahkan keyakinan pemakai baju yang lain. Pun mencurigai, atau bahkan membenci. Dan tidak ingin anak-anak saya mewarisi hantu-hantu tersebut. Bahkan berharap kalau saja hidup memberi kesempatan lebih banyak, mau rasanya ‘mengalami-mengalami’ yang lain: hindu, katolik, budha atau lainnya. Mungkin dengan begitu saya bisa menjawab pertanyaan ini: “apakah meyakini bahwa agama yang kita anut adalah benar, berimplikasi bahwa yang selain itu, salah? Atau sebaliknya, bahwa semua jalan itu memperjalankan sang salik pada Sang Khalik yang sama?”

..tapi tiba-tiba saya khawatir dengan perasaan “benar” saya. Sejarah menunjukkan, perasaan “paling benar” di tangan salik yang belum kuat, bisa jadi sumber mencelakakan yang lain (harm the other). Karena bagi salik sejati, perasaan “paling benar” mungkin sudah tidak ada artinya.

Anda sendiri, bagaimana pengalaman Anda berinteraksi dengan agama lain? Dan di titik-titik cerita apa Anda rasakan ada bibit-bibit kecurigaan, garis pemisah, atau bahkan kebencian, muncul? And how you accept that, or confront that?

 

(Sumber: Status Facebook Chitra R)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed