by

Menjadi Anti-Ahok Lebih Mudah daripada Menjadi Seorang Muslim

Saya kembali ke dalam kampus, di gerbang kampus, saya lihat kawan saya berinisial BPS, baru akan memasuki kampus. BPS belum mengerti bahaya yang menunggunya di kampus. Jika saja saya bisa berlari lebih cepat, tentu saya bisa menghindarkan dia dari tragedi itu.

Namun dia tiba lebih dulu. Dari kejauhan saya teriak untuk memberi peringatan, namun jaraknya terlalu jauh. BPS yang mengendarai motor terjatuh sebelum sempat menghentikan kendaraannya dan bertanya.

Beberapa pukulan dan tendangan serta benturan benda padat sudah mendarat di tubuhnya. Saya masuk ke tengah orang-orang itu dan sedikit memberi ruang BPS untuk lari menjauh.

Berbeda dengan M yang diseret dari dalam ruangan kuliah, untungnya BPS memiliki ruang yang lebih terbuka untuk lari. Beberapa orang kawan terlihat mengambil posisis serupa dengan saya.

Meski lebih dulu berselisih paham dengan beberapa kawan kampus, akhirnya saya dan seorang kawan bernama Yok sapaan dari Hudaya Gobel yang berasal dari Gorontalo, kami berhasil membawa motor milik BPS pergi menuju rumah Yok yang kebetulan dekat dengan kampus.

Tanpa melewati rapat-rapat resmi, secara otomatis rumah Hudaya Gobel itu menjadi posko darurat untuk mengecek siapa saja kawan-kawan yang jadi korban dan yang masih bisa dikontak agar tidak menuju kampus.

Sebagian yang kami bisa kontak akhirnya datang ke rumah Yok untuk membantu. Yok ini berasal dari keluarga Gorontalo beragama Islam. Reaksi otak saya secara cepat mempercayai dan memastikan rumah itu aman, tanpa berkomunikasi dengan yang bersangkutan.

Semua terjadi seperti sebuah adegan film yang sudah ditulis dengan apik. Sahabat-sahabat saya dari latar belakang suku dan agama yang berbeda, hadir di sana. Tidak ada yang melebihi kebahagiaan di saat darurat seperti itu, selain melihat sahabat-sahabat kita berdiri dalam keyakinan  yang sama.

Singkat cerita, kampus diliburkan selama satu minggu. Setelahnya, semua orang seperti melupakan kejadian itu.

Yang ingin saya sampaikan lewat kisah ini tidak lain adalah pengalaman kita sebagai bangsa dan sebagai makhluk beragama. Hanya karena satu gelas kopi yang tidak segaja terjatuh di waktu dan tempat yang salah, Indonesia bisa retak dan pecah dalam hitungan menit.

Yang tadinya tenang dalam salat, bisa mendahulukan amarahnya dan mengakhiri salatnya untuk mengecek sumber suara.

Yang tadinya beragama dan berbicara santun, bisa menjadi sosok malaikat pencabut nyawa. Dengan wajah merah menyeret kawan satu kampusnya sambil membiarkan tendangan dan pukulan nyaris menghilangkan nyawa sahabatnya.

Yang lebih banyak saya perhatikan, mereka yang sering minum dan berjudi di kampus dan sekitarnya, malah berteriak paling lantang: “Bunuh Palang, salib Yesus!”

Padahal di saat yang sama mereka tidak ikut menunaikan salat Jumat. Merekalah yang terlihat paling saleh, paling Islam dan paling berjihad saat itu.

Anda pasti pernah mendengar kalimat, “gue emang kagak salat, tapi loe ganggu agama gue, gue bacok loe!”

Ini sejenis parasit yang melekat pada umat di agama mana pun.

Bahkan otak saya tidak perlu berpikir untuk bisa membiarkan hal seperti itu terjadi. Ini juga yang membuat saya menyatakan mendukung Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI Jakarta.

Selain karena saya mengenal Ahok sebagaimana tubuh saya otomatis percaya pada Yok, Jupri Juma, M dan BPS tanpa perlu berkomunikasi dengan mereka. Karena pengalaman pribadi saya percaya bahwa mereka tidak mungkin melakukan itu.

Hal lain yang semakin mendorong saya berpikir untuk berdiri membela Ahok, karena kebanyakan dari mereka yang anti-Ahok sebenarnya bukan juga mereka yang benar-benar menjadi panutan dalam kesalehan menjalankan agama Islam. Sama seperti yang terjadi di kampus saya.

Mungkin mereka berpikir, dosa yang sudah sedemikian tebal sangat sulit untuk menjangkau surga Allah, sehingga menganggap jalan menuju surga itu seperti menumpang busway. Bahwa ada jalan pintas menuju surga tanpa harus bertaubat dan menjalankan syariat Islam yang rumit lainnya. Cukup dengan memaki Ahok maka pintu sorga akan terbuka lebar.

Itu yang menjadi akar intoleransi, ketakutan atau fobia terhadap dosa-dosa yang mereka lakukan, sehingga mencari pembenaran di luar diri, bahwa walaupun dosa saya sangat besar, namun ada “orang lain” dan kebetulan saat ini bernama Ahok yang lebih hina derajatnya dan karenanya dengan meneriaki Ahok, maka pahala akan dilipatgandakan. Kapan lagi dapat kesempatan berbuat dosa dengan imbalan surga.

Bagaimana pun, menjadi anti-Ahok jauh lebih mudah ketimbang menjadi seorang Muslim yang menjalankan secara konsisten ajaran dan hakiakat agama Islam yang merupakan rahmat seluruh semesta.

Menjadi seorang Muslim, selain harus taat menjalankan syariat (salat, puasa, zakat dll) Anda dituntut untuk menjaga akal budi dan perilaku sosial agar semakin membesarkan syiar agama.

Sama juga dengan lebih mudah menjadi pemimpin di kelompok kecil yang brutal dan militan, ketimbang menjadi seorang warga negara yang memiliki kewajiban merawat keragaman dan bersetia pada konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atau juga bisa dikatakan, menjatuhkan Ahok jauh lebih mudah daripada menjadi lebih baik dari Ahok.

Untuk para pencari jalan pintas yang berpikir menuju surga seperti menumpang busway.**

Sumber : Qureta

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed