by

Mengupas Sejarah Freeport di Indonesia

Oleh: Muhammad Toha

 

Mari kita buka buku sejarah Indonesia dan cuplikan beberapa peristiwa dunia di era sebelum 1970-an. Bisa jadi di belakang rentetan peristiwa di masa lampau itu, kita akan menyebut sebuah nama yang sama: Freeport!

Sejarah memang tidak pernah tercipta oleh dalil tunggal, melainkan oleh serangkaian penyebab yang jamak. Namun, rasa-rasanya menilik sejarah Indonesia, Freeport sedikit banyak memberi warna atas serangkaian peristiwa yang terjadi di Nusantara.

Agak berlebihan sepertinya …Tapi baiklah; inilah bualan saya!

Pasca menang di perang dunia kedua, Belanda yang bergabung dengan sekutu hendak kembali ke Indonesia sebagai penguasa. Namun, bekas wilayah jajahannya itu, ternyata telah menyatakan diri sebagai negara berdaulat. Belanda tentu saja tidak rela. Selama rentang masa 1945 hingga 1949, dengan kekuatan militernya, Belanda menduduki dan bercokol di beberapa wilayah Indonesia—dengan rentetan perlawanan bersenjata dari rakyat Indonesia.

Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2 September 1949 menjadi ujung dari kekuasaan Belanda di Indonesia. Belanda akhirnya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka dengan wilayah seluruh bekas jajahannya, dengan pengecualian; Irian Barat. Irian Barat disepakati akan dibicarakan lebih lanjut, setahun setelah KMB ditandatangani.

Nah, disinilah tanda tanya layak diajukan? Mengapa Belanda bersedia mengakui seluruh wilayah bekas jajahannya sebagai wilayah Indonesia dengan pengecualian Irian Barat? Kenapa bukan wilayah Sunda kecil (NTB, NTT), Kalimantan atau Sulawesi yang dipertahankan?

Belanda memang menyembunyikan sejumlah alasan. Tapi harta karun yang teramat besar di perut bumi Irian Barat diyakini sebagai alasan utama. Belanda telah jauh-jauh hari mempunyai datanya. Pada 5 Desember 1936, di pegunungan Cartesz pada ketinggian 3.600 meter dpl, Geologis Belanda bernama Colijn dan Jean Jaques Dozy menemukan gunung setinggi 180 meter yang berisi tembaga dan emas. Mineral itu nampak terserak di permukaan, sehingga berkilau diterpa matahari. Gunung itu diberi nama Ersberg.

Kembai lagi ke KMB. Genap setahun setelah KMB, Belanda ternyata tak kunjung membuka pembicaraan soal Irian Barat. Bahkan secara sepihak, pada Agustus 1952, Belanda menjadikan wilayah Irian Barat sebagai salah satu propinsinya. Seorang Gubernur Jenderal dikirim dari Belanda sebagai penguasa wilayahnya.

Indonesia protes dan mengajukan keberatan. Berbagai upaya dilakukan Pemerintah, diantaranya dengan membawa masalah Irian Barat dalam sidang umum PBB. Tetapi posisi Belanda sebagai negara sekutu yang disokong Amerika, Inggris dan Australia, terlalu kuat untuk digoyang. Irian Barat tetap dikuasai Belanda.

Dalam masa penguasaan Belanda inilah, penyelidikan lebih lanjut soal harta karun yang terpendam di Irian dilakukan oleh Badan Geologi Kerajaan Belanda. Dan hasilnya, seperti yang diberitakan oleh New York Times pada 6 Maret 1959, Pemerintah Belanda mengkonfirmasi penemuan ladang Tembaga dan Emas yang melimpah di Ersberg.

Cerita tentang Irian Barat bergulir melintasi benua, dan menarik minat para pemburu rente di belahan bumi utara. Pada Agustus 1959, beberapa bulan setelah pemberitaan di New York Times, Forbes Wilson, salah satu petinggi Freeport Sulphur, perusahaan tambang Amerika skala sedang, bertemu dengan Jan Van Gruisen dari East Borneo Company. Pembicaraannya seputar temuan ladang tembaga dan emas di Irian Barat.

Freeport yang kondisinya sedang sekarat karena konsesi tambangnya di Cuba diambil alih oleh Pemerintahan Fidel Castro, menaruh minat untuk mengecek kebenarannya. Diceritakan dalam buku sejarah Freeport, bagaimana Forbes Wilson girang tak kepalang saat menginjakan kakinya di Ersberg. “Seharusnya gunung ini diberi nama Mountain Gold, bukan Ersberg.” begitu pengakuannya. Tembaga, emas dan perak di gunung itu berserak dan melimpah di permukaan, tinggal dikeruk tanpa harus membuat terowongan atau membelah gunung.

Sekembalinya dari Irian, Freeport dan East Borneo Company meneken kontrak kerjasama untuk eksplorasi lebih lanjut. Almanak mencatat tanggal itu pada 1 Februari 1960.

Sementara itu, di Indonesia, Presiden Soekarno telah habis kesabarannya dengan sikap Belanda dan sekutu yang tak hirau dengan masalah Irian Barat. Bukan saja tak mendukung, bahkan bukti sejarah mengungkap, Amerika dan negara sekutu berada dibalik gerakan separatis di Maluku dan Sulawesi, yang ingin mendongkel posisi Soekarno.

Presiden Soekarno yang semula aktif menggagas Non Blok, alias negara yang tak memihak Blok Amerika atau Uni Sovyet, memainkan skenario “seolah-olah” condong ke negara-negara Blok Timur untuk mendapat sokongan. Soekarno kerap melayat ke Beijing dan Moskow dan selalu disambut hangat oleh penguasa negara komunis itu.

Dalam banyak referensi terungkap, bagaimana Amerika dan sekutu mulai blingsetan dengan manuver Soekarno yang menjalin kemesraan dengan Blok Komunis. Dan sebuah kebetulan pula, pada saat itu salah satu agent CIA bernama Allen Pope yang menyusup ke Indonesia untuk menyokong pemberontakan Permesta, ditangkap setelah pesawatnya ditembak jatuh di Morotai—Maluku Utara. Soekarno memegang kartu truf.

Amerika yang tak ingin Indonesia menjadi negara komunis karena posisi strategisnya di kawasan Asia Pacific, serta upaya Washington untuk membebaskan Allen Pope, dimanfaatkan Soekarno dengan sangat cerdik. Dalam lawatan ke Amerika atas undangan Presiden John F Kennedy, pada April 1961, menjadi titik balik hubungan Jakarta dengan Washington yang sebelumnya sarat konflik. Anda pernah melihat foto bagaimana Soekarno dengan wajah sumringah diarak keliling Washington oleh JF Kennedy dengan sedan terbuka? Nah, itulah moment hubungan mesra Indonesia – Amerika.

Amerika yang selama ini menjadi bumper Belanda soal Irian Barat, mulai mengubah haluan. Amerika mulai mendesak Belanda untuk membicarakan kembali masalah Irian Barat dengan Indonesia. Belanda tentu saja menolak. Tetapi Belanda tak berkutik ketika Amerika mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan ke Belanda—paket ekonomi untuk negara sekutu yang hancur pasca perang.

Puncak dukungan Amerika ke Indonesia soal Irian Barat adalah tatkala pada Maret 1962, Amerika melalui diplomat seniornya di PBB, Ellwort Bunker merancang sebuah proposal penyerahan Irian Barat dari Belanda ke Indonesia, serta berhasil menyeret Belanda untuk duduk di meja perundingan setelah mangkir sejak KMB tahun 1949. Di depan Amerika, Belanda tak berkutik, dan akhirnya pada 15 Agustus 1962, Belanda dan Indonesia menandatangani perjanjian New York yang berisi kesepakatan penyerahan Irian Barat ke Indonesia. Irian Barat menjadi wilayah Indonesia tanpa perang besar.

Petinggi Freeport geram tak kepalang dengan perubahan haluan politik Amerika di bawah JF Kennedy. Rencana yang sudah dibangun dengan East Borneo Company—perusahaan Taipan Belanda itu buyar di tengah jalan. Peluang untuk menggarap Ersberg seolah tertutup rapat, setelah pada 1 Mei 1963, Irian Barat resmi berbendera merah putih dan berganti nama menjadi Propinsi Irian Jaya.

Tapi masa bulan madu Soekarno – JF Kennedy hanya seumur jagung. 22 November 1963, President Kennedy ditembak mati oleh sebuah konspirasi yang hingga detik ini belum terungkap motifnya.

Sementara di Tanah Air, Soekarno tengah terlibat konfrontasi dengan Malaysia terkait wilayah Kalimantan yang dituding oleh Soekarno akan dijadikan negara Boneka Inggris. Jakarta meminta dukungan Amerika, tetapi Amerika dibawah Presiden Lyndon B Johnshon enggan berseteru dengan Inggris. Soekarno meradang. Keluarlah kalimat terkenal dari mulut Soekarno, “Inggris Kita Linggis. Amerika Kita Setrika” sebagai ungkapan kemarahan Soekarno atas sikap Amerika dan Inggris. Hubungan Amerika – Indonesia pun jatuh di titik paling nadir.

Di tanah air, dukungan atas perintah Soekarno untuk menggayang Malaysia, ternyata tak bulat. Sejumlah petinggi Angkatan Darat, diantaranya Jenderal Ahmad Yani dkk tak memberikan dukungan penuh. Alasannya, mereka menilai isu Malaysia ini sekedar pelampiasan ambisi politik luar negeri Soekarno sahaja. Satu-satunya komponen yang mendukung bulat adalah Partai Komunis Indonesia. PKI mengirim banyak relawannya untuk melakukan konfrontasi di garis depan. Moment inilah yang menjadi salah satu pangkal kedekatan Bung Karno dengan PKI.

Di Amerika, sepeninggal Kennedy, Washington menilai Jakarta tak ingat pamrih Amerika yang telah mendukung pembebasan Irian Barat. Apatah lagi disinyalir, Soekarno pasca konfrontasi dengan Malaysia menjalin kedekatan dengan tokoh-tokoh komunis serta memberikan kader-kader PKI posisi strategis di Pemerintahan. Amerika yang gerah lalu merancang sebuah skenario untuk menggulingkan Bung Karno, melalui tangan beberapa jenderal Angkatan Darat yang telah dibina CIA.

Adalah sebuah kebetulan yang menarik karena Augustus C Long, salah satu dewan direksi Freeport yang berkarib dekat dengan President B Johnshon, beberapa bulan sebelum peristiwa G 30 S PKI, ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Intelejen Kepresidenan Amerika, dan terlibat aktif dalam mengendalikan CIA. Yang pasti, beberapa kali sebelum peristiwa berdarah itu, Augustus C Long terlihat mondar mandir ke Jakarta. Tentu tidak hendak pelesiran, bukan!

Tak perlu berpanjang cerita, sebab kita telah paham alur cerita selanjutnya. Soekarno tumbang dan Soeharto pun menjadi presiden kedua. Dan tak perlu diceritakan bagaimana campur tangan CIA yang sarat peran dalam penggulingan Bung Karno, serta naiknya pamor Soeharto.

Asa Freeport yang sempat redup, merekah kembali dengan perubahan politik di Jakarta. Langbourne Williams, salah satu petinggi Freeport di akhir tahun 1965 mengaku telah diminta oleh pejabat gedung putih untuk bersiap-siap masuk ke Irian Jaya, padahal saat itu Soekarno masih sebagai RI-1.

Tapi, Freeport sepertinya sudah membaca arah politik di Jakarta. Freeport bergerak cepat, dengan memakai jalur lobbi yang telah dibangun oleh Augustus C Long. Melalui tangan Ibnu Sutowo dan Julius Tahija, orang kepercayaan Soeharto, Freeport menginisiasi pertemuan di Jenewa Swiss untuk merancang peraturan yang mengubah kebijakan Bung Karno yang sebelumnya melarang investasi luar negeri di Indonesia. Konsep dan naskah dari peraturan itu didikte dan dinarasikan oleh Rockefeller—Konglomeret adidaya Amerika.

Dan Anda semua mungkin sudah mafhum, peraturan pertama apa yang diteken Soeharto pasca menerima kekuasaan sebagai presiden? Yup benar. Undang-Undang No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi Undang Undang perdana yang disahkan oleh Soeharto, yang notabene disusun dan dibuat nun jauh di Jenewa.

Berentetan setelah itu, Pemerintah Orde Baru meneken Undang-Undang Pokok Pertambangan No 11 tahun 1967, sebagai payung kegiatan penambangan yang dibutuhkan Freeport untuk menginjakan kaki di Irian Jaya. Tapi sebelumnya, pada 7 April 1967, Freeport telah mendirikan usaha berbadan hukum Indonesia dengan nama PT Freeport Indoenesia.

Dan akhirnya, di penghujung tahun 1967, salah satu cuplikan dalam sejarah Indonesia telah tercatatkan: Pemerintah Indonesia menandatangi Kontrak Karya pertama yang menyerahkan hak kelola sumber daya alam di Irian Jaya kepada Freeport. Gunung Emas yang bernilai milyaran dolar amerika itu, dan didaulat sebagai salah satu tambang emas, tembaga dan perak terbesar di dunia itupun menjadi pundi-pundi kekayaan Amerika hingga detik ini.

Tak salah jika sampai saat ini masih banyak pemburu rente yang coba mencari celah untuk bisa mencicipi kilau emas Freeport. Dan tak salah pula jika salah satu “papa dendi” di negeri ini tergiur dan coba-coba meminta bagian dari Freeport agar bisa rutin main golf dan membeli jet pribadi.

Sebab saya pun tergiur dan pengen punya jet pribadi!

(Artikel diambil dari Facebook Muhammad Toha)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed