by

Mengulik Polah Gatot

Sederet Kasus Hukum yang menyeret nama Tomy Winata:
1. Bisnis Judi
2000, TW disebut pernah menjalankan bisnis perjudian di sebuah pulau kawasan Kepulauan Seribu. Bahkan, isu tersebut kemudian membuat presiden saat itu, Abdurrahman Wahid menyerukan agar menangkap Tomy. Tidak jelas siapa yang pertama kali mengembuskan isu tersebut hingga sampai kepada istana pada saat itu. Pemprov DKI dan aparat melakukan inspeksi mendadak mendatangi pulau yang diisukan menjadi tempat Tomy menjalankan bisnis judi tersebut. Namun setelah dicek hasilnya nihil.
2. Dalangi Sejumlah Peristiwa Kekerasan
TW banyak disebut-sebut terlibat mendalangi beberapa kasus kekerasan terhadap beberapa lembaga dan kantor. Tomy dikatakan terlibat mendalangi kasus penyerangan terhadap kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat pada 27 Juli 1996.
Tudingan ini dialamatkan kepada Tomy karena malam sebelum pecah bentrokan, diketahui kumpulan massa penentang Megawati berkumpul di kawasan yang dibangun Tomy, Sudirman Central Business District (SCBD).
Kantor majalah Forum Keadilan didatangi sekitar 20 preman yang tidak senang dengan pemberitaan yang dimuat dalam majalah tersebut. Majalah Forum Keadilan menuding TW melakukan bisnis ekstasi dan perjudian. Artikel tersebut memuat keterangan Hans Philip, tersangka bandar ekstasi yang sedang diburu polisi. Hans menuding Tomy terlibat dalam mengelola pabrik ekstasi di Tangerang, Banten, bersama Ang Kiem Soei.
2002, Tomy kembali disebut-sebut mendalangi aksi kekerasan. Saat itu sekumpulan preman simpatisan Tomy menyerbu kantor Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) di Jakarta.
Tudingan tersebut muncul karena beberapa waktu sebelumnya Humanika menyebarkan poster anti narkoba dan perjudian dengan wajah TW. Selebaran tersebut didasarkan atas artikel dalam majalah Forum Keadilan yang sebelumnya disatroni sekelompok orang.
Kantor di kawasan Tandean Jakarta Selatan diserang sekitar 30 preman bersenjata golok dan pedang samurai, dini hari menjelang subuh. Orang-orang yang menyerbu kantor tersebut memporak-porandakan isi kantor dan membawa seluruh sisa poster yang belum dibagikan kepada masyarakat. Tudingan ini kemudian tidak ada tindak lanjutnya.
TW kembali dituding menyuruh orang untuk sengaja membakar pasar Tanah Abang. Keterlibatan Tomy dalam kebakaran yang terjadi pada Februari 2003 tersebut dimuat dalam Majalah Tempo yang terbit pada 9 Maret 2003. Akibatnya, sejumlah preman mendemo kantor Tempo. Unjuk rasa tersebut berbuntut pada tindak kekerasan terhadap tiga wartawan Tempo dan pemimpin redaksinya serta perusakan gedung media Tempo. Kasus tersebut kemudian diusut kepolisian. Para pelaku kemudian ditahan pihak kepolisian.
Tomy tidak pernah bereaksi keras atas semua tudingan yang dialamatkan kepadanya. Namun Tomy mengaku ia tidak bisa melarang simpatisannya yang marah dan tersinggung jika ada pemberitaan miring mengenai dirinya.
Selain kasus kekerasan yang melibatkan preman, pada tahun 2002 Tomy dituduh pernah menyuruh orang-orangnya di Artha Graha untuk menyekap dua orang pegawai perusahaan rekanannya yang terlibat masalah perdata dengan Artha Graha. Dua pegawai warga negara India tersebut kemudian diantar ke Mabes Polri Tidak lama kemudian, dua WN India tersebut dipulangkan ke negaranya setelah dijemput pihak kemenlu India. Dikutip dari Gatra, pihak Artha Graha menampik kabar penyekapan tersebut.
3. Kasus Perdata
Pada tahun 1997, Tomy pernah terlibat masalah perdata dengan rekan bisnisnya, Hartono saat mereka memiliki proyek membangun tempat hiburan di Nusa Dua Bali. Kesepakatan bisnis tersebut dimulai ketika Hartono meminjam uang sebesar 8,5 miliar dolar Amerika dari Bank Artha Graha untuk membangun gedung hotel dan hiburan bernama Planet Bali.
Namun tidak lama, tempat itu ditutup karena difungsikan untuk tempat mesum. Perseteruan tersebut kemudian membuat Hartono menjual sejumlah aset untuk menutupi utangnya yang membengkak dari hasil kesepakatan investasi tersebut.
Terakhir, pengadilan kemudian menjadi ramai akibat insiden kuasa hukum Tomy Winata memukul hakim di PN Jakarta Pusat yang sedang membacakan putusan persidangan tentang kasus perdata.
Di situs PN Jakarta Pusat, Tomy menggugat beberapa pihak, yaitu PT Geria Wijaya Prestige, Harijanto Karjadi, Hermanto Karjadi, Hartono Karjadi, PT Sakautama Dewata dan Fireworks Ventures Limited. Dalam persidangan tersebut, majelis hukum menolak seluruh permohonan Tomy.
Awal sejarah bisnis TW adalah berbisnis dengan tentara. Titik mula kejayaannya ialah Bank Artha Graha dan kini memimpin banyak usaha.
Kodam Siliwangi punya yayasan yang bisa menghasilkan uang. Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986: 319) menyebut yayasan yang disponsori Siliwangi pada 1970 telah mendirikan perusahaan kontraktor yang kerap dapat proyek dari Pertamina. Kala itu bos Pertamina masih dijabat Mayor Jenderal Ibnu Sutowo. Perusahaan tersebut belakangan dikenal sebagai PT Propelat.
Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital (2009: 264) menyebut Propelat sudah eksis sejak 1967, ketika Brigadir Jenderal H.R. Dharsono menjadi Panglima Siliwangi (1966-1969).
“Awalnya PT Propelat bernama Propelad (Proyek Perhotelan Angkatan Darat) yang bergerak dalam perhotelan, guest house, dan akomodasi lainnya untuk militer,” tulis Bambang Beathor Suryadi dalam Peluru Bersimbah Darah: Menguak Kebobrokan Soeharto (1991: 57).
Propelat lalu makin berkembang. Tepat pada 1 April 1972, seperti disebut dalam Visualisasi Hasil Pembangunan Orde Baru Pelita I, Pelita II, Pelita III, Volume 2 (1984: 219), lahirlah Bank Propelat sebagai terusan dari Bank Bandung yang sudah ada sejak 1967.
Bank Propelat mengalami masa suram pada 1986. Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jenderal Tiopan Bernard Silalahi, TB Silalahi Bercerita Tentang Pengalamannya (2008: 83-85), menyebut di tahun 1986 itu Menteri Keuangan Radius Prawiro memberi ancaman bank ini akan ditutup karena terus merugi.
Sesepuh Siliwangi, mantan Panglima Kodam (1957-1960) Jenderal Raden Ahmad Kosasih, pun harus turun tangan. Dia mengusulkan kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Edi Sudradjat agar Yayasan Kartika Eka Paksi (yayasan kesejahteraan prajurit Angkatan Darat) ikut menyertakan modal dan diadakan restrukturisasi.
Dari Propelat ke Artha Graha
Bank ini akhirnya diambil alih Angkatan Darat. Dalam pengambilalihan itu seorang pengusaha muda keturunan Tionghoa bernama Guo Shuo Feng alias Tommy Winata (TW) diajak. Menurut Atmadji Sumarkidjo (hlm. 85), alasan TW diajak karena dia sudah lama dikenal di lingkungan Angkatan Darat. Edi Sudradjat sudah mengenalnya ketika menjadi Panglima Kodam Siliwangi. Sementara T.B. Silalahi mengenalnya sejak masih berpangkat kapten.
TW, pria kelahiran 1958 dan disebut-sebut hanya lulusan SMP ini, sejak masih 15 tahun sudah dipercaya perwira senior untuk membangun markas dan perumahan prajurit Korem di Singkawang. Ini membuatnya dekat dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
“Saat berumur 30 tahun ia sudah menjadi rekanan ABRI saat membangun sejumlah barak dan kantor KORAMIL dan KODAM,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008: 152).
Selain itu dia juga memasok barang-barang kebutuhan tentara. Sejarah bisnis TW mirip dengan Liem Sioe Liong, yang pernah memasok kebutuhan tentara pimpinan Soeharto di zaman Revolusi.
“Bank itu (Propelat) akhirnya dibeli dengan menggunakan uang TW dan mitranya, Edward dan kemudian Aguan,” tulis Atmadji Sumarkidjo (hlm. 85-87).
Angkatan Darat punya saham 40 persen, sementara dua perusahaan TW dan Aguan masing-masing 30 persen. Dalam pembelian itu pihak Angkatan Darat tak keluar uang satu sen pun.
Bank Propelat lalu berubah nama menjadi Bank Artha Graha. Sejarah bank ini dimulai sejak 1987. Menurut Sam Setyautama, TW punya orang tua angkat di Sukabumi, seorang lurah di Desa Takokak, bernama Bisri Artawinata. Tak mengherankan jika Tommy menyandang nama Winata dan Artha menjadi nama depan banknya.
Bisnis TW tentu saja bukan bank dan konstruksi. Di bidang properti, pada era 2000-an, seperti dicatat Sam Setyautama, setidaknya TW punya Agung Sedayu Metro Development, Agung Sedayu Propertindo, Artayasa Grahatama, Garuda Mega Harapan, Jakarta Graha Sentosa, dan Citra laksana Graha Prima. Di bidang kontruksi: Agung Sedayu Permai, Arthayasa Adiprima, dan Graha Mulya Nusa. Di bidang telekomunikasi ada Danatel Pratama. Di bidang elektronik ada Artha Graha Wahana. Sementara di sektor perikanan ada Ting Sheen Bande Sejahtera. TW juga menjadi salah satu pemilik Hotel Borobudur.
Grup Artha Graha, yang dipimpin TW sebagai salah satu konglomerat penting Indonesia, telah membawahi 40 perusahaan.
Bisnis Kian Membesar
Atmadji Sumarkidjo (hlm. 87) menyebut TW tidak pernah dapat proyek lagi dari Angkatan Darat setelah mengendalikan Bank Artha Graha dan kiprahnya menjadi lebih luas di luar lingkungan militer setelah 1987. Meski begitu TW terus akrab dengan jenderal-jenderal yang telah lama dikenalnya, terutama dengan Edi Sudradjat dan T.B. Silalahi. “Banyak orang berpendapat bahwa Tommy Winata itu anak Pak Edi atau Pak TB, dan bahkan Tommy Winata sendiri tak keberatan jika ia disebut anak angkat TB,” tulis Atmadji (hlm. 88).
Tak hanya akrab dengan Edi dan T.B. Silalahi, TW juga dekat dengan Brigadir Jenderal Slamet Singgih. Dalam autobiografinya, Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu (2014), Slamet Singgih berterus terang jika dirinya juga dekat dengan TW.
Slamet Singgih bercerita TW yang suka bercanda pernah bilang, “Nah ini ada dua kemungkinan lo bisa kenal Pak Slamet. Kalau lo dulu engga ditangkep atau diperiksa ama dia, lo pernah nganterin duit ke Pak Slamet.”
Slamet Singgih pernah dapat pekerjaan untuk mengelola Musro Club & Lounge milik TW di Hotel Borobudur.
Selain Slamet Singgih, Letnan Jenderal Kiki Syahnakri pun dekat dengan TW. Kiki adalah Komisaris Independen Bank Artha Graha. Dari generasi purnawirawan jenderal yang lebih anyar, ada Jenderal Gatot Nurmantyo yang pernah menjadi Sekretaris Komisaris Bank Artha Graha. Bekas Panglima TNI ini sudah kenal TW sejak masih jadi ajudan Edi Sudradjat waktu menjabat Panglima Siliwangi.
TW juga pernah berbicara dengan Ahok tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta. TW pamer kepada Ahok bahwa ia memiliki kedekatan dengan Panglima TNI, dengan menceritakan kehebatan “Satpam” Tomy Winata yang mampu menjaga hutan di pulau pribadi nya seluas 60.000 hektar di kepulauan seribu.
Jumlah satpam yang mejaga hutan tersebut sebanyak 300 orang yang dipersenjatai, hasilnya hutan “Utuh”., sedangkan Panglima TNI punya tentara 2 batalyon menjaga 60.000 hektar hutan, hasilnya gundul semua.
Tomy juga bercerita ketika ia berbicara di depan PanglimaTNI & Kapolda, menekankan bahwa ia memerintahkan anak buahnya untuk “MEMBUNUH” siapapun orang yang ingin menyerang dirinya.
TW disebut di sidang korupsi Bowo Sidik:
Begitulah kura-kura dinamika ambisi kekuasaan di Indonesia, segala cara dilakukan untuk menjatuhkan Jokowi dengan jejak yang mirip untuk menjatuhkan Sang Putra Fajar Soekarno hingga rakyat tidak sadar bahwa ada kepentingan kapitalisme dibalik penggalangan massa “agama” dan isu komunis PKI, https://www.facebook.com/107287794081735/posts/199816318162215/
karena isu ini yang paling enak digoreng untuk menggulingkan pemimpin yang nasionalis/anti-kapitalisme.
Semoga Tuhan YME melindungi Presiden Jokowi yang terpilih sah hingga 2024 secara konstitusi dari hasil demokrasi pilihan rakyat Indonesia, dan di Pilpres 2024 rakyat Indonesia harus lebih pintar memilih penerus visi misi Jokowi untuk Indonesia Maju bebas dari mafia dan korupsi.
 
Sumber : Status Facebook Jessie’s Blog

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed