by

Menghapal Alquran Lebih Cepat Bila Paham Nahwu

Kalau tidak salah kakakku pernah menjelaskan alasan kenapa di pondok tempat dia nyantri kalau mau hafalan qur’an syaratnya harus sudah khatam alfiyah. Ada tiga alasan, yaitu:

Pertama, pengasuh pondok tidak ingin santrinya menjadi hafidz qur’an tapi tidak paham kitab kuning. Pengasuh ingin agar santrinya menjadi hafidz qur’an yang paham fan-fan ilmu seperti fiqih, tauhid, akhlak, nahwu, shorof, dan yang lain. Alasannya sederhana, “mencari ilmu agama hukumnya wajib, sedangkan menghafal al-qur’an hukumnya tidak wajib.”

Dalam kurikulum pesantren, tingkatan kelas biasanya berjenjang dan memakai tingkatan kitab-kitab nahwu. Misal tingkatan pertama disebut kelas jurumiyah, kedua yaitu kelas imrithi, dan kelas tinggi adalah alfiyah. Kitab-kitab yang dikaji di kelas jurumiyah tingkat kesulitannya menyesuaikan kitab jurumiyah, begitu seterusnya. Jadi kalau sudah khatam alfiyyah, kitab-kitab lain yang sudah dikaji pun levelnya sudah berat-berat. Asumsinya santri yang sudah khatam ngaji alfiyyah sudah memiliki pemahaman agama yang cukup baik.

Kedua, menghafal al-qur’an akan lebih mudah setelah paham nahwu. Kenapa seperti itu? Dengan paham nahwu, kita bisa mudah mengingat harakat pada ayat-ayat al-qur’an. Kita tidak hanya bermodal hafalan untuk menentukan harakat pada ayat yang kita baca, tapi juga bermodal nahwu, karena dengan paham nahwu kita bisa menentukan harakat sebuah ayat.

Ketiga, orang yang menghafal al-qur’an setelah khatam alfiyyah lebih cepat dalam menghafal al-qur’an dibanding orang yang menghafal al-qur’an tapi belum khatan alfiyyah. Untuk alasan ketiga ini, saya belum melakukan riset untuk mengecek kebenarannya. Namun secara nalar sangat masuk akal orang yang sudah khatam alfiyyah bisa lebih cepat dalam menghafal al-qur’an dibanding yang tidak ngaji alfiyyah.

Saya pernah menghafal surat al-mutoffifin. Ada dua ayat yang cukup sulit dihafal dan kadang terbolak-balik, yaitu ayat 18 dan 22:

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي عِلِّيِّينَ

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ

Awalnya saya sering terbolak-balik, di ayat 18 saya membaca الابرار dengan dibaca “abroro” (huruf ro difathah), sedangkan di ayat 22, lafadz الابرار malah dibaca “abrori” (huruf ro dikasroh). Saat itu saya baru awal-awal mondok. Baru sedikit-sedikit mengenal nahwu.

Namun setelah ngaji bab إِنَّ dan idhofah, saya tidak lagi terbolak-balik saat menghafal ayat itu. Saya tidak ragu lagi membaca الابرار dengan huruf ra dikasroh (“abrori) pada ayat 18 karena berkedudukan sebagai mudhof ilaih dari lafadz كِتَابَ. Mudhof ilaih hukumnya “majrurun abadan” (dibaca jer selamanya) sehingga lafadz الابرار pada ayat 18 harus dibaca jer dengan harakat kasroh. Kenapa kasroh? Karena jamak taksir ketika dalam kondisi jer harakatnya adalah kasroh.

Pada ayat 22, saya tidak ragu lagi membaca lafadz الابرار dengan huruf ro yang berharakat fathah (dibaca: abroro). Sebabnya, lafadz الابرار terletak setelah إِنَّ yang punya pengalaman : “tansibul isma wa tarfa’ul khobar” (menashobkan isim dan merofa’kan khobar). Jadi lafadz yang terletak setelah إِنَّ wajib dibaca nashab. Oleh sebab itu, lafadz الابرار pada ayat 22 dibaca nashab dengan harakat fathah pada huruf ro (abroro). Kenapa fathah? karena lafadz الابرار termasuk jamak taksir dan jamak taksir ketika nashab diharokati dengan fathah.

Saya kira ada juga teman-teman yang pernah punya pengalaman yang sama, yaitu terbolak-balik saat menghafal ayat yang lafadznya sama tapi harokatnya berbeda. Untuk mengantisipasi hal itu, alangkah lebih baik bagi orang yang ingin menjadi hafidz qur’an untuk belajar nahwu terlebih dahulu agar bisa lebih cepat dalam menghafal al-qur’an.

 

(Sumber: Facebook Saefudin Achmad)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed