by

Menghakimi Keyakinan Orang Lain

Tapi di luar itu, sungguh saya tidak mampu menulis sesuatu dengan cara dan gaya seakan-akan bukan diri saya hanya karena saya ingin membuat diri saya pas dalam label mayoritas, atau apalah yang membuat posisi saya selalu aman, serta membuat senang orang-orang tertentu. Saya bukan orang yang rela berbasa-basi demi tujuan disenangi orang.

Jujurnya, saya tidak pernah senang bertemu orang yang berlebih-lebihan menggunakan identitas agama hanya untuk merasa lebih baik dari orang lain. Mau dari agama manapun, saya tidak peduli. Dan sikap tersebut bukan sesuatu sikap yang dibuat-buat atau sengaja ingin memprovokasi orang lain berpikiran secara liberal. Saya risih ketika melihat orang lain mendaku paham ilmu agama tapi rela saja mengenyahkan sisi kemanusiaannya, sebab yang saya tahu di ajaran agama saya yang lampau ataupun yang sekarang, kita manusia diminta untuk menjauhkan diri dari sikap berlebih-lebihan, sombong apalagi munafik. Ya saya marah tiap kali melihat orang bicara takut Tuhan, mengagungkan Allah secara berlebihan, tapi menghadapi manusia yang berbeda prinsip dan keyakinan dengannya, ia mendadak lupa adab memperlakukan orang lain seperti sesuatu yang hina.

Bagi saya, agama sekadar alat mencapai kehidupan yang lebih teratur, paham soal batas dan kendali, memberi petunjuk bagaimana mencapai hidup yang seimbang antara dunia dan akhirat. Bagaimana lantas orang yang mudah dan mahir sekali membenci kemudian bisa mengaku sekaligus sebagai pencinta?

Agama saya pahami datang bukan sebagai alat mengacaukan hidup orang lain apalagi menindas atas dasar kebenaran serupa apapun. Orang-orang yang kadang bisa keliru menggunakannya sebagai mata pisau yang melukai alih-alih berguna membantu sesama manusia. Orang-orang yang salah mengira egonya adalah termasuk kebenaran yang harus diterima semua orang.

Saya akan terus menulis apapun yang saya yakini sebagai hal yang berhak saya suarakan. Maka ayo kita kuatkan saja jantung kita atau kita saling melupakan. Dan jika saya boleh bermohon, ayo belajar lagi menjadi pembaca yang menguasai macam-macam gaya bahasa terutama yang bermakna satire supaya tidak mudah terlalu sering jatuh tersinggung sekaligus menguasai teknik bagaimana menarik ulur emosi terutama pada mereka yang belum kita kenal baik pribadi apalagi hatinya. Dan mari juga belajar pahami bahwa isi kolom komentar yang ramai oleh macam-macam orang dari latar belakang beragam itu bukan tanggung jawab si penulis.

Oh ya, agama kita masing-masing sudah mulia dari dulu. Kita manusianya yang belum.

Sumber : Status Facebook Mimi Hilzah

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed