by

Menghabisi Seword

 

Dalam bentuk media, yang jelas partisan dan melakukan pembelaan terbuka terhadap Jokowi adalah Seword. Awalnya Seword adalah blog pribadi dengan segenap keterbatasannya. Media ini sempat tidak beroperasi karena problem finansial dan tenaga operasional. Beruntung ada seseorang yang baik hati mengulurkan tangan tanpa minta bayaran. Berkat orang ini, dan para pendukung lain, Seword mulai berkibar. Kehadirannya kemudian membuat gaduh. Lawan politik Jokowi merasa terganggu, mereka jengah. HT sempat sewot dengan Seword dan melaporkannya, tapi kini tiba-tiba ia telah berubah jadi kecebong. Laporan itupun menguap bersama angin.

Seword memang luar biasa. Media yang awalnya tak dianggap ini telah jadi produsen opini terbesar di Indonesia. Jika dibandingkan dengan platform lain sekalipun, konon hanya kalah dengan Detik dan Kompas. Padahal jika dilihat dari segi finansial dan kelengkapan organ penggerak, Seword tidak ada apa-apanya. Tentu efek serangan balik yang dilakukan Seword itu sangat terasa ke jantung lawan politik, yang gemar berlaku kotor.

Namun serangan terhadap Seword tak pernah berhenti, bahkan semakin gila. Orang-orang mungkin tak pernah tahu, kenapa Seword sering tak bisa diakses? Ya, itu karena ada serangan Ddos dalam jumlah luar biasa. Konon biaya satu hari serangan itu cukup utuk membiayai Seword selama empat tahun. Pertanyaannya kemudian, siapa yang rela mengeluarkan uang sedemikian besar hanya untuk menghabisi Seword? Siapa lagi kalau bukan politisi yang merasa kolam kotornya terganggu. Dan mereka tidak hanya satu orang.

Baru saja Pemuda Muhamadiyah melakukan hal yang sama, melaporkan Seword. Melihat pernyataannya di media, pelapor ini tidak begitu intelek, atau minimal tidak menguasai persoalan dengan baik. Menuduh Seword menyebarkan hoax itu salah alamat. Mengatakan tulisan Seword tak sesuai kaidah jurnalistik itu konyol. Platform Seword itu opini, bukan news. Opini isinya ya asumsi, baik logis maupun tidak, pembaca yang menilai. Selama tidak berisi fitnah dan hoax, opini tak boleh dibatasi.

Pelapor yang kemudian diketahui bernama Siswanto Rawali ini ternyata pernah mendaftar (terlibat) Muslim Cyber Army, yang salah satu pematerinya adalah almukarom Jonru. Dari sini kita tahu kapasitas orang ini dan dari kelompok mana dirinya. Selain ketidak-pahaman platform media, Siswanto ini juga tak mengerti proses pelaporan satu kasus. Pertama ia mendatangi Kominfo, dari Kominfo diberi arahan untuk pergi melapor ke polisi. Lalu ia mendatangi Bareskrim Polri. Dari sana dibimbing lagi untuk melapor kebagian khusus IT (Direktorat Tindak Pidana Siber). Dan ia memamerkan kekonyolan itu dengan mengajak wartawan bersamanya. Kuat dugaan, pelaporan itu adalah design yang sengaja dibentuk untuk membuat framing. Untuk itulah pelapor bergaya bak artis di depan kamera.

Persis yang dilakukan HT tempo hari, Pemuda Muhamadiyah juga tengah berupaya menghabisi Seword demi kepentingan politik. Apalagi kalau bukan demi agenda Pilpres 2019. Seword harus dibungkam sebelum 2019 agar propaganda politik dari pihak sebelah berjalan mulus. Saya juga tidak mengerti, cabang organisasi yang awalnya bergerak dalam bidang pendidikan dan kesehatan ini kenapa mulai main mata dengan dunia politik. Padahal kita tahu, kubangan politik itu begitu kotor dan hina.

Seword memang memerlukan banyak perbaikan dari segi konten. Namun mengingat anggotanya yang sudah ribuan dan berasal dari berbagai latar belakang, penyeragaman adalah sesuatu yang mustahil. Bahkan pimpinan Seword sendiri tak bisa mengekang dan mengarahkan anggotanya. Para penulis dibebaskan membuat opini. Selama tidak berisi hoax dan fitnah. Tulisan Seword, meskipun partisan, tidak selalu menguntungkan Pemerintah. Ulasan yang berisi kritik pedas sudah sering dimunculkan. Jadi upaya menghabisi Seword dengan alasan menyebarkan hoax itu hanya kamuflase saja. Tujuan utama adalah menyerang para pendukung Jokowi demi kepentingan Pilpres 2019.

Apakah karena laporan itu Seword akan gemetar ketakutan dan pipis di celana?

Siswanto Rawali ini hanya pion kecil. Seword tentu hanya akan buang waktu jika harus melayani rengekannya. Sedangkan Eggi Sudjana yang lebih kakap saja hanya dianggap angin lalu, tidak sepadan dengan Seword. Jadi ini salah satu alasan kenapa Seword diam saja ketika ada orang usil main lapor. Kelas mereka hanya cecunguk, melayani mereka hanya bikin kotor tangan saja.

Tahun ini Seword sudah berhasil pindah framework, meski masih perlu beberapa penyesuaian. Kemarin masih menumpang Wordpres, oleh sebab itu serangan ke Seword luar biasa tak terkendali. Mereka memang sengaja masuk ke dalam, menyaru, memprovokasi, melakukan serangan brutal. Dengan perpindahan ini, semoga jika masih ada serangan tidak sampai down. Biarkan mereka putus asa.

Pertarungan politik masih akan terus terjadi, bahkan mungkin lebih berdarah-darah lagi. Seword hanya ingin menyuarakan kebenaran dan pembelaan. Menangkis hoax dan fitnah. Ini bukan hanya soal Jokowi, tapi membela orang-orang baik seperti Dedy Mulyadi, Susi, Risma dan siapapun yang bekerja demi kemajuan Indonesia. Jadi sekalipun Seword dihabisi, semangat untuk menulis tidak akan padam. Itu hanya media, jika roboh ya tinggal dibangun lagi.

Melihat Siswanto Rawali merengek-rengek dan dibuat booming oleh media mainstream itu ya hanya lelucon badut politik saja. Meskipun sangat disayangkan ada nama Muhamadiyah di belakangnya.

Namun kita tahu, di kubangan kotor politik itu jangankan organisasi, agama saja dijual murah.

Eta waraskanlah….

*

(Sumber: Facebook Kajitow Elkayeni)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed