by

Mengepret Muhadjir

 

Penjelasan dari kementerian pendidikan juga dinilai tidak memuaskan. Hanya semacam apologi dan kegugupan menghadapi gejolak. Mereka tidak siap dengan arus dinamika di bawah.

Memang sebuah fakta menyedihkan, ndilalah pengganti Anies yang bermasalah itu adalah Muhadjir. Ada bau tak sedap di sana. Apakah dia hebat? Mungkin. Apakah dia mampu? Bisa jadi. Namun jelas terbaca, tepilihnya Muhadjir sebagai menteri itu murni karena bagi-bagi kursi. Faktor lain belakangan. Sudah jadi tradisi (buruk) bahwa menteri agama dari NU dan menteri pendidikan jatahnya Muhamadiyah. Indonesia, dalam hal ini pemerintahan Jokowi sekalipun tak berani menebas semak. Semua berjalan seperti biasa di atas rel kelaziman. Barangkali karena cost politiknya terlalu mahal.

Bayangkan, ada menteri agama dari non-muslim di Indonesia. Atau menteri pendidikan dari pendidik di belantara, semacam pendiri Sokola Rimba. Indonesia butuh orang gila seperti Susi. Ada banyak orang gila yang siap bertarung habis-habisan, mereka harus ditemukan diberi amanat. Namun perlu diingat, posisi Jokowi juga rapuh. Ia harus mengakomodir semua kepentingan yang membahayakan kepemimpinannya. Saat ia sibuk memperbaiki skala prioritas, saat itu juga ia rela menampung menteri-menteri benalu. Bagi-bagi kursi adalah keniscayaan.

Kementerian pendidikan konon menghabiskan dana lebih dari 400 triliun. Jumlah ini dua kali lipat dari anggaran terdahulu (2006) yang hanya 176 triliun. Saya tidak tahu untuk apa saja anggaran sebesar itu. Intinya itu uang yang sangat banyak, dengan hasil yang bisa kita rasakan sendiri kualitasnya. Jangankan membandingkan diri dengan Finlandia, untuk menengok sekolah di pedalaman itu saja kita tak tega. Kementerian pendidikan overweight, ada banyak tubrukan dan inefesiensi di tubuhnya. Soal UN, zonasi sekolah, favorit non-favorit, selalu jadi simalakama. Dan di akhir semua “proyek” mulia itu, kualitas pendidikan kita jauh tertinggal.

Indonesia, menurut hemat saya tidak lagi butuh orang pandai. Banyak sekali orang pandai, yang sayangnya tak punya imajinasi. Orang-orang terdidik yang kalah kualitas dengan lulusan SMP semacam Susi Pujiastuti. Ini harus diakui. Mereka yang kemarin sok intelek dan mencela Susi itu tidak ada apa-apanya. Maka yang dibutuhkan Indonesia adalah orang-orang “gila”. Mereka yang berani keluar dari zona nyaman dan melepas atribut kepriyayian demi memperjuangkan kepentingan Negara.

Dalam hal pendidikan juga begitu. Kita punya banyak sekali kelompok cerdik-cendikia. Namun yang dibutuhkan Indonesia adalah pribadi jujur. Yang dibutuhkan indonesia adalah mereka yang tak malu menyingsingkan lengan baju. Berani masuk lumpur dan terjun ke dasar paling bawah. Tradisi pejabat mriyayi sudah usang. Mereka yang egaliter, memutus langsung persoalan, hadir bersama rakyat, adalah jargon Indonesia Baru.

Muhadjir bukan tipe pribadi demikian. Ia bukan bagian dari imajinasi Indonesia Baru. Mungkin ia jujur, karena sampai sekarang tidak terbukti adanya penyelewengan. Namun Muhadjir bukanlah tipikal “orang gila” yang dibutuhkan Indonesia. Apalagi ketika mengetahui, keterpilihannya sebagai menteri ada indikasi hanya karena pembagian jatah kursi. Lagipula, sebagaimana menteri dari PAN, sumbangsih dukungan bagi pemerintahan juga tidak terlihat kuat. Mereka lebih mirip kerikil dalam sepatu.

Saya pikir, menteri seperti Muhadjir ini perlu “dikepret” oleh Jokowi. Selain membuat gaduh, dia juga tidak melakukan revolusi pendidikan Indonesia. 400 triliun bukan angka yang sedikit. Selama Muhadjir menjabat, tidak ada gebrakan berarti. Obesitas dan inefesiensi dalam tubuh kementeriannya juga dibiarkan. Guru-guru dan sekolah islam yang ekstrem dengan indikasi ajaran wahabi juga banyak berkeliaran. Apa yang sudah dilakukan Muhadjir untuk menanggulanginya? Tidak ada.

Radikalisme melenceng yang berbahaya menjangkiti dunia pendidikan sejak lama. Sama seperti menteri agama yang hanya pandai membuat pidato itu, menteri pendidikan dan kebudayaan hanya sibuk beretorika. Para ekstremis ini berkembang biak dengan cepat. Nasionalisme digerogoti dari sekolah dan rumah ibadah. Masih ditambah pula ormas bermasalah yang merajalela. Pekan Pancasila saja lahir dari keperihatinan bangsa, dieksekusi oleh pusat.

Ini belum membicarakan soal kebudayaan, soal seni dan sastra. Banyak buku “sampah” bertebaran. Seperti buku yang membahas Borobudur sebagai warisan Nabi Sulaiman, atau tentang Majapahit yang diaku kerajaan Islam. Buku semacam itu juga ada dalam sejarah sastra, seperti buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.

Sementara kehidupan seniman dan satrawan memprihatinkan. Mereka yang telah punya nama, tentu tak soal, mereka bisa hidup dari sana. Namun mereka yang baru belajar tegak, mencoret warna, membuat goresan pahat, mengais huruf dan menorehkannya pada kertas yang harganya terus melambung, dilibas oleh kenyataan pahit lahir di Indonesia.

Lalu apa kerja menteri pendidikan dan kebudayaan?

Saya tidak tahu, mungkin anda bisa memberi saya gambaran, apa saja ketidak-becusan kementerian satu ini sejak dulu kala. Di tengah minat baca yang sangat rendah, radikalisme keagamaan dalam dunia pendidikan yang melenceng, obesitas dan inefesiensi struktur kementerian, dunia sastra dan seni yang muram, menteri satu ini sibuk mengiklankan kosa-kata “unduh” sebagai ganti “download” dan “swafoto” sebagai ganti “selfi”.

Menteri dengan standar demikian rendah bukankah sudah cukup layak untuk dikepret, Tuan Presiden?

Rujukan:

http://www.suaramuhammadiyah.id/…/full-day-school-banyak-t…/

https://m.detik.com/…/sedihnya-sri-mulyani-menatap-hasil-ap…

https://m.tempo.co/…/lembaga-maarif-nu-full-day-school-memi…

(Sumber: Facebook Kajitow Elkayeni)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed