by

Mengatasnamakan Islam dan Ulama

Oleh: Sumanto Al Qurtuby
 
Padahal, para pengkritik tidak mengkritik Islam (sebagai sebuah ajaran normatif, doktrin, dogma atau sistem teologi) melainkan mengkritik ide, gagasan, pandangan, pendapat, wacana dan perilaku sosial dan individual sejumlah kelompok Islam itu.

Padahal, para pengkritik bukan mengkritik Islam tetapi mengkritik tingkah-polah pengurus, aktivis dan simpatisan sejumlah (sekali lagi SEJUMLAH) ormas Islam yang masya Allah bahlulnya itu.

Tapi apa lacur, dengan pede dan ge-er-nya mereka bilang: “Si anu yang anunya anu itu telah menghina, memaki, melecehkan, menghujat, dan merendahkan agama Islam. Ayooo kita jihad, demo, serbu dan siapkan bom panci untuk membela martabat dan keagungan Islam.”

***

Bahkan bukan hanya kecanduan mengatasnamakan Islam saja. Mereka juga kecanduan mengatasnamakan ulama. Dikit-dikit atas nama ulama, dikit-dikit atas nama ulama. Karena sudah kecanduan mengatasnamakan ulama, maka mereka tidak terima kalau si anu yang mereka sebut sebagai ulama itu dikiritk bahkan menuduh si pengkritik sebagai penghina dan pembenci ulama.

Padahal sejatinya, kalau menurut standar baku definisi dan kajian keulamaan, daftar nama yang mereka sebut-sebut sebagai ulama itu bukan ulama melainkan tukang ceramah atau tukang khotbah. Ada juga yang tukang misuh, tukang demo, tukang malak, tukang nangis, dan tukang kawin he he.

Lucunya lagi, mereka bengak-bengok mempropagandakan membela ulama serta marah kepada orang lain yang mengkritik “ulama” mereka, tapi pada saat yang sama hobi dan istiqamah sekali menghina dan melecehkan figur alim dan tokoh-tokoh yang sebetulnya justru ulama itu sendiri.

***

Menariknya lagi, tidak seperti sejumlah kelompok “Islam tengil” tadi, kaum Muslim dari kubu NU (atau minimal Muhammadiyah) jarang atau bahkan nyaris tak terdengar suara-suara yang mengatasnamakan Islam.

Meskipun sudah sangat sering sekali NU dilecehkan dan dimaki oleh “tetangga sebelah” tadi tapi para petinggi, pengurus, aktivis, anggota, jamaah, dan simpatisan NU (termasuk saya tentunya) tidak pernah menuduh dan mengkritik si pengkritik NU tadi sebagai penghina Islam. NU ya NU, Islam ya Islam. Mereka tahu batas: mana Islam dan mana NU.

NU juga tidak hobi mengatasnamakan ulama. Bahkan para kiai yang salih-alim-ulama itu malu dan sering menolak kalau dipanggil “ulama”. Meskipun ormas ini dengan pesantrennya yang berjumlah puluhan ribu itu ibarat “pabrik ulama” yang berisi dan memproduksi ribuan ulama tersebar ke seantero Nusantara. Tetapi mereka tidak hobi mengatasnamakan ulama.

Jadi jelasnya begini Ndro:

Anda harus bisa membedakan mana Islam sebagai sebuah nilai, ajaran, norma, dogma, dan sistem teologi-keagamaan, dengan Islam yang dipahami oleh kelompok Islam tertentu; mana “doktrin Islam” dan mana “kebudayaan dan tradisi Muslim”; mana Islam dan mana diskurusus atau wacana keislaman; mana Islam dan mana tafsir Islam; mana ajaran normatif Islam dan mana ajaran “politik Islam”; mana “Islam politik” dan mana “Islam budaya”; mana Islam sebagai produk pemerintahan Islam tertentu dan mana Islam sebagai nilai-nilai spiritual-keagamaan; mana Islam dan mana parpol atau ormas yang berlebel Islam; mana Islam dan mana umat Islam (kaum Muslim), “Islamicate”, “Islamdom” dan seterunya.

Kalau belum bisa memilah-milah berbagai kategori ini, maka Anda akan terus terbalik-balik dalam memahami Islam, keislaman, dan keberislaman. Ibaratnya, Anda mengira itu jenggot, padahal jembut

 

(Sumber: Facebook Sumanto Al Qurtuby)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed