by

Mengapa Saya Tidak Ikut Bela “Ulama”

 

Pertama, maafkan saya tak begitu berminat untuk menuliskan itu. Defenisi kita beda tentang ulama. Sejak saya mahasiswa, saya punya pemahaman sendiri siapa itu ulama dan siapa (sebenarnya) politisi.

Kedua, beberapa bulan yang lalu, saya pernah menulis artikel tentang Buya Syafii Maarief. Saya publikasikan di tengah suasana yang panas. Tulisan tersebut banyak dikomentari. Bahkan dishare hingga 1.349 kali. Saya catat. Ada kebahagiaan rasanya. Saya ingin melihat kehadiran Buya asal Sumpur Kudus Sumatera Barat ini dari sisi saya. Tak adil hanya menilai saat ini, ketika ia menentukan sikap yang dianggap “berbeda”. Sejak dulu saya mengikuti pemikiran Buya. Buku-bukunya saya baca. Artikelnya saya kliping. Riwayat hidupnya sering saya dengar dari orang lain. Lalu beberapa diantara dari sahabat tersayang saya “menilai” Buya. Penilaian kini. Dengan melampirkan berita-berita tendensius. Buya dihantam. Disinisi. Dikatakan “buaya”. Tak sedikitpun pantas menyandang gelar Buya. “Tak terkaha” saya membaca umpatan-umpatan vulgar yang dialamatkan kepada mantan Ketua Muhammadiyah ini. Jujur, kadang mata saya sabak. Entah mengapa. Lalu waktu itu, mengapa (hampir) tak ada yang membela Buya ?. Mungkin beliau yang kehidupannya teramat sederhana ini, bukan ulama. Ulama itu bagi mereka hanyalah si anu, si anu dan si anu. Bahkan dengan sinis seseorang pernah berkata, “Buya itu bukan ulama. Ia sejarawan. Tamatan Amerika. Walaupun SMP dan SMA-nya tamatan Muhammadiyah”. Jadi ulama itu harus tamatan Timur Tengah …. gitu ?. Kalau tamatan Barat, bukan ulama ?. Padahal guru-guru saya waktu kuliah dulu selalu bilang, “Barat dan Timur milik Allah. Ilmu yang berada disana juga milik Allah”. Lalu, saya pernah menulis tentang Qureish Shihab. Tamatan Timur Tengah. Pakar tafsir yang keilmuannya hampir dipastikan, Insya Allah, tak bisa ditandingi oleh ulama si anu, si anu dan si anu. Tapi tetap dihantam. Disinisi. Dikuliti. “Dipisangi”. Dikatakan Syi’ah. Dianggap bukan ayah yang baik karena tak mampu membuat anaknya Najwa Shihab seperti Marissa Haque, berjilbab. Atau seperti anak seorang ulama kondang yang bahagia memposting istrinya lagi hamil berat di instagram. Mengelus-elus perutnya kayak anak alay. Tak ….. tak menarik bagi saya. Bagi anda mungkin. Menonton Mata Najwa bagi saya lebih luar biasa.

Lalu, Gus Mus, Azyumardi Azra, Said Agil Siradj, Komaruddin Hidayat dan seterusnya. “Bukankah mereka ini juga ulama?”. 
“Mereka bukan ulama”, kata anda. 
Ya sudah. Ketemu …. kan ?. Ulama bagi anda tak sama dengan ulama bagi saya. Lantas mengapa anda memaksa saya harus sama dalam mendefenisikan sesuatu. Memangnya saya tak punya pengetahuan tentang yang anda bela itu ?.

“Anda dosen yang tidak agamis!”. 
Benar, saya tidak memakai gamis. (a-gamis). Anda benar.

Kita persingkat saja !

Ketiga. 
Manusia punya ukuran sendiri-sendiri. Paradigmatik. Ukuran kita berbeda. Bagi anda benar, bisa saja bagi saya tidak. Ukuran berbeda karena berbedanya nilai yang dianut, bahan bacaan dan sejarah hidup. Saya bisa saja mengatakan ikan yang pling enak itu, ikan laut. Karena saya orang pantai. Sementara anda menganggap tidak enak, anyir, geli dan seterusnya. Ya …. pantas, anda dari kecil tak pernah makan ikan laut. Atau kamu menganggap tulisanmu yang paling cantik. Tuliszn orang lain tidak. Suaramu yang paling merdu, suara mereka tidak merdu. Bagaimana manilainya ?. Cari “wasitnya”. Ia yang menilai. 
“Wasit berpihak. Tak adil !”. 
Itu katamu. Kata orang lain, tidak. Adil sebenar adil hanya ada di pengadilan akhir. Mati kita dulu. Berbangkit. Baru jumpa keadilan hakiki. Tapi sejelek-jeleknya “wasit”, ia wasit. Pengadil. Jangan kalau berpihak kepada kita lantas kita katakan adil. Tak menguntungkan kita, lalu kita katakan tak adil. Kriminalisasi. Padahal …. kriminal. 
Waktu mengikuti Sidang Sianida yang live ditayangkan di INews milik HT itu, kepada istri saya, saya katakan tampaknya Jessica tak salah. Istri saya sepakat. Ketika hakim mengatakan Jessica bersalah, istri saya bertanya, “salahkah Jessica menurut abang?”. 
Salah !. Udah, itu saja. 
“Kriminalisasi !”. 
Kata kamu. 
Bukan kata yang lain. Uji di pengadilan. Tunjukkan diri. Edukasi masyarakat. Saya patuh pada hukum. Ajari masyarakat. Jangan tidak adil. Untuk lawan kita boleh berteriak. Untuk kita, tidak. Kita masih menganggap diri kita paling suci. “Tidak beriman seseorang, firman Allah, sebelum di uji”. Anggaplah ini ujian. Buktikan anda benar-benar tidak salah.

“Anda bukan akademisi agamis!”. 
Ya …. saya tidak a-gamis. Tidak …. tidak pakai gamis. Maafkan beta bila ada kata-kata yang salah.

Wallahu a’lam.

 

(Sumber: Facebook Muhammad Ilham Fadli)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed