by

Mengapa Kyai NU Jarang yang Emosian Apalagi Stres?

Saya bersyukur ulama kita memiliki sisi jenaka juga cerita-cerita lucu yang berkaitan dengan dirinya di waktu muda maupun masa senja. Juga berkaitan dengan interaksinya dengan sesama kiai, para santri dan masyarakat. Cerita lucu yang berkaitan dengan mereka, rahimahumullah, tidak membuat kita merendahkan marwah keteladanan, juga tidak membuat kita melecehkan mereka. Justru, menambah kecintaan dan dalam koridor tertentu, membuat kita melihatnya sebagai manusia seutuhnya. Apa adanya. Tidak melangit. Tidak berjarak dengan umatnya, dan tidak membuat keteladanannya terlepas dari ingatan warga NU. Kharismanya tetap terjaga, walaupun kita mengetahui kelucuan-kelucuan yang berkisar pada pribadi mereka. Dengan tersedianya cerita lucu, ada proses desakralisasi yang membuat denyut nadi kemanusiaannya tetap ada. Tidak seperti cerita serius dan sakral ala para ulama dan wali dari kawasan Timur Tengah, kisah-kisah di antara para ulama kita berlangsung secara apa adanya.
Saya menduga, kemampuan melontarkan joke di kalangan NU ini sudah gawan bayi. Genetik. Terwariskan secara turun temurun. Selain kemampuan di bidang bahtsul masa-il, saya menerka ini adalah keterampilan yang genuine. Sulit diduplikasi karena tidak semua orang bisa melakukannya. Jika anda pernah terlibat dalam diskusi serius antar para kiai NU, bisa dcermati, ada satu kiai yang menjadi peledak tawa. Dia menjadi sosok yang mencairkan kebekuan suasana dan ketegangan pikiran dengan lontaran spontar humornya, celutukannya, maupun caranya meledek sesama kiai. Di tingkat Ranting hingga Pengurus Besar, pola seperti ini ada. Di level lembaga hingga Banom NU, juga tersedia. Intinya, di acara kumpulan warga NU, tidak akan pernah ketinggalan dua sajian bermutu: hidangan dan guyonan. Klop!
Di dunia Islam sendiri, khalifah Harun Arrasyid (786 M – 809 M) juga dikenal memiliki cita rasa humor yang tinggi. Khusus nama terakhir, dia memiliki punakawan eksentrik bernama Abunawas. Dia cerdik, lugu, legawa, luhur, dan tentu saja kocak. Abunawas-lah yang dalam kisah-kisah folklor, bisa leluasa menyindir, mengkritik, dan berani menertawakan sang khalifah bijak itu. Di kemudian hari, cerita dari kawasan muslim Asia Tengah juga disemarakkan oleh dialog cerdas dan kocak antara sufi eksentrik Nasruddin Hoja dengan Timurlenk (berkuasa 1370-1405 M), maharaja muslim yang menguasai kawasan Khurasan Raya hingga anak benua India di masanya.
Di dunia pewayangan kita, sosok Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong “bertugas” mencairkan ketegangan di istana. Sosok punakawan yang jujur, lugu, dan apa adanya ini tidak ada dalam nomenklatur Mahabharata versi India yang elitis. Keempatnya dihadirkan oleh Sunan Kalijaga dalam epos Mahabharata yang didramatisasi melalui pagelaran wayang sebagai sarana dakwah, sekaligus kritik sosial atas elitisme para raja yang dianggap keturunan dewata. Sunan Kalijaga hendak menghadirkan karakter wong cilik dalam lakon kebangsawanan Pandawa dan Kurawa. Pribadi-pribadi lucu, lugu nan jenaka yang menjembatani egoisme para menak dan intervensi para dewa, sehingga lakon Mahabharata bisa lebih membumi dalam wayang versi Jawa-Muslim.
Ya, seorang pemimpin bisa bersikap adigang adigung adiguna, manakala tidak memiliki sense of humor. Humor, kata Gus Dur, memang tidak bisa meruntuhkan sebuah pemerintahan, tapi lontaran kalimat jenaka bisa membusukkan sebuah rezim. Karena itu, dalam kumpulan humor berjudul Gus Dur Taruhan Kathok Kolor (2000), jejak-jejak kritik-sarkastik terhadap gaya politik Orde Baru jelas terasa.
Dari fungsinya, humor merupakan mekanisme penyalur dari apa yang disebut Arthur Koestler kandungan sifat agresif dan defensif dalam jiwa manusia. Agar kandungan defensif ini tidak tercetus dalam tindakan yang destruktif, ia harus disalurkan lewat humor. Untuk itulah Immanuel Kant menyebut humor sebagai sumber kekuatan yang memberi pengaruh kuat dalam mencairkan manusia dari ketegangan.
Karena itu, jika dicermati, para teroris tidak ada yang berwajah jenaka. Silahkan cermati wajah dan tatapan mata para pengebom yang mengatasnamakan agama itu. Urat wajahnya menyiratkan kebengisan. Aura tawuran. Mengapa? Sebab, tidak ada ceritanya teroris punya selera humor tinggi. Mereka terlampau serius menyikapi kehidupan, namun konyol dalam perbuatan. Dalam kajian psikologis, untuk menjadi teroris, seseorang dimatikan dulu selera humornya dan dipupuk jiwa psikopatnya.
Usul saya, BNPT (Badan Nasional Penanggulanagn Terorisme) harus melakukan deradikalisasi melalui terapi humor. Ajak para napi teroris ini nonton film humor tiga hari sekali, undang para komika buat melawak di depan mereka, ajak para narapidana terorisme ini ke pesantren mendengarkan lawakan para santri dan kiai, lantas latih mereka melucu. Haqqul Yaqin, kemanusiaan mereka kembali. Mereka menjadi teroris karena unsur kemanusiaannya hilang. Dan, saya percaya unsur kemanusiaan itu ditandai dengan humor: bercanda, melontarkan lelucon, bertukar joke, bahkan saling ledek. Ini sesuatu yang manusiawi dalam interaksi antara anak cucu adam.
Wallahu A’lam Bisshawab
Sumber : Status Facebook Rijal Mumazziq

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed