by

Mengapa ISIS Keranjingan Menghancurkan Masjid?

Kenyataannya, sebagian besar masyarakat muslim tidak bermasalah dengan gambar atau patung makhluk hidup, karena fungsinya memang bukan untuk disembah. Adapun mengenai penggambaran orang suci, sejumlah tradisi dalam Islam juga tidak melarangnya, dengan satu syarat: gambar tersebut tidak bersifat merendahkan.

Alasan memberantas praktik syirik juga dikemukakan oleh Taliban saat menghancuran patung Buddha di provinsi Bamiyan, Afghanistan pada Maret 2001. Penghancuran patung itu berdasarkan perintah langsung dari Mullah Omar, pimpinan tertinggi Taliban saat itu. Patung itu dibangun pada abad 4-5 Masehi.

“Muslim harusnya bangga menghancurkan berhala. Bersyukurlah kita telah menghancurkan mereka,” ujar Mullah Omar seperti dikutip Time.

Kali lain, Mullar Omar menuturkan dalih yang berbeda. Dikutip dari wawancara Mullah Omar di situsweb Rediff, penghancuran dilakukan karena kesal lantaran negara-negara Barat menggelontorkan jutaan dollar untuk memperbaiki patung Buddha, di saat rakyat Afghanistan kelaparan.

Pada 2012, kelompok Ansar Dine yang berafiliasi dengan al-Qaeda, merusak makam dan masjid-masjid kuno di Timbuktu, Mali. Majalah Time melaporkan, kaum ekstremis membawa senjata, beliung dan sekop guna menghancurkan makam Sidi Mahmoud. Dikutip oleh Time, juru bicara Ansar Dine mengatakan kepada BBC bahwa mereka berencana untuk meratakan tempat-tempat yang dihormati sufi di Timbuktu “tanpa kecuali.”

Di Purwakarta pada 2011, empat patung wayang dibakar massa beratribut Islam. Dilansir dari Tempo, seorang yang ikut dalam aksi tersebut menyatakan, “Kota Purwakarta sebagai kota santri tak pantas dijejali berhala. Ajaran Islam dengan tegas menyebutkan bahwa berhala merupakan simbol kemusyrikan karenanya harus dimusnahkan.”

Ikonoklasme dalam Lintasan Sejarah

Jauh sebelum ISIS, ikonoklasme bermotif religius pernah terjadi di Eropa, dengan latar belakang konflik internal di Gereja Katolik, yang akhirnya mengarah ke Reformasi dan Perang Tani (1524-1525).

Dalam sebuah teks berjudul Vom Kriege wider die Türken (“Tentang Perang Melawan Turki”) yang ditulis menjelang masuknya pasukan Turki Usmani ke Wina, bapak Protestanisme Martin Luther memuji tradisi ikonoklasme dalam Islam.

“Orang Turki,” tulis Luther, “tak mentolerir [gambar-gambar ikon] dan tidak membubuhi apapun pada koin mereka kecuali huruf.”

Pada awal kemunculan gerakan Reformasi di Jerman, kawan Martin Luther, teolog Andreas Bodenstein von Karlstadt (1480-1541), memerintahkan dicopotnya gambar-gambar para santo di seluruh gereja kota Wittenberg. Aksi ini berujung pada kerusuhan.

 

Namun, ikonoklasme juga dipraktikkan dalam tradisi sekuler. Kemarahan massa terhadap otoritas politik yang diekspresikan dengan cara menghancurkan istana, monumen, serta bangunan dan ikon lain yang dipandang sebagai simbol elit penguasa bisa dikategorikan sebagai ikonoklasme. Sekalipun menghendaki penciptaan tatanan sosial yang jauh berbeda, para penguasa baru yang mendapat mandat rakyat kadang berusaha setengah mati mencegah perusakan ikon-ikon rezim lama.

 

Mengapa ISIS Keranjingan Menghancurkan Masjid?

Sejarawan Georgetown University Richard Stites menyebutkan, pada masa Perang Sipil di Inggris (1642-49) yang melibatkanpara pendukung Parlemen dan Raja, kaum Puritan menyerbu gereja Westminster Abbey, mengacak-ngacak mahkota dan jubah penisbatan raja, sementara anggota parlemen dari House of Commons bersumpah akan menjual emas dan medali kerajaan.

Pada fase radikalisasi Revolusi Prancis (1792-94), rakyat Paris membakar lukisan, buku-buku agama, dan medali gereja dan kerajaan lantaran terlanjur dianggap identik dengan rezim lama. Romo Henri Grégoire, Menteri Kebudayaan era Revolusi yang berusaha mencegah meluasnya aksi-aksi massa tersebut, memperkenalkan istilah “vandalisme” untuk menamai fenomena kemarahan massa yang diungkapkan lewat penghancuran ikon-ikon kebudayaan.

Pada Revolusi Rusia 1905, para anarkis Rusia, catat Stites dalam “Iconoclastic Currents in the Russian Revolution: Destroying and Preserving the Past” (1985), mendambakan suatu “api semesta yang membakar seluruh tatanan dunia lama”. Dua belas tahun kemudian, sejak Revolusi Oktober 1917, masyarakat menjarah istana dan gereja yang mendukung kekuasaan Tsar. Lenin memerintahkan Istana Musim Dingin milik Tsar diamankan. Tak lama setelahnya, istana tersebut diubah menjadi museum, yang hari ini merupakan salah satu museum seni terbesar dunia, The Hermitage.

Faktor kemarahan rakyat, sebagaimana terjadi dalam banyak peristiwa sejenis, memang absen dalam ikonoklasme ISIS. Namun, dimensi sosial ikonoklasme yang kelihatan lebih terang dalam sejumlah peristiwa revolusioner di Inggris, Perancis, dan Rusia, mengajarkan satu hal: tindakan menghancurkan masjid dan makam ulama, tampaknya dilakukan untuk memangkas otoritas keagamaan tradisional yang hidup bersama ritual-ritual populer di dalam dan sekitar makam dan mesjid kuno.

Dunia yang dikehendaki ISIS mustahil tercipta jika otoritas-otoritas tradisional ini tetap eksis. Maka dari itu, masuk akal bagi ISIS ketika seorang kombatannya menembak mati Sheikh Abdelkarim al-Naimi, imam masjid Mosul, yang menolak instruksi ISIS untuk merusak kaligrafi kuno di mesjidnya.

Adapun dalam kasus penghancuran museum, The Economist menyebutkan motif jangka pendek dengan tujuan yang jelas, yakni penjualan aftefak-artefak ke pasar gelap untuk membiayai aktivitas ISIS. Berkelindannya faktor ideologi dan ekonomi juga bisa disaksikan dalam penghancurkan situs-situs kuno Islam di sekitar Mekah oleh otoritas Saudi, yang juga menganut doktrin salafi garis keras dan tengah habis-habisan menggenjot pembangunan fisik di kota suci tersebut.**

Sumber : tirto.id

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed