by

Mendalami Agama

Sang kyai melanjutkan: bayangkan suasana 1300 tahun lalu. Ketika Qur’an turun di abad VII. Masyarakat Arab dengan alam padang pasirnya, dan WC belum ada. Maka dalam kitab fikih bab Toharoh, dibahas tentang ‘istinja’. Adab bersuci, yang jika tak ada air bisa pakai batu. Ingat, masa itu belum ada sabun dan tissue. Yang dolbon di kampung tidak istinja pakai batu. Tapi pakai daun kopi dulu. Sampai rumah barulah air ditimba. Itu pun kalau tidak lupa.

Situasi itulah salah satu konteks yang melandasi ‘asbabun nuzul’ ayat jilbab. Para perempuan di Arab yang ke belakang buang hajat, kadang diganggu dan digoda. Al-Ahzab, 59: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Pesannya adalah untuk perlindungan. Sekarang kamu berhijab atau tidak, jangan diam jika merasa diganggu atau diintimidasi. Sila lapor ke RT atau polisi. Ada payung hukumnya. Situasi ini bukan urusan yang ditimpakan pada perempuan saja. Tetapi lelaki juga wajib respek dan mawas diri. Al-Quran membawa pesan pada suatu masa, dan bukan di ruang hampa. Maka sebelum membuat kesimpulan dan tafsiran, wajib hukumnya ulama melihat latar belakang turunnya ayat. Agar ajaran yang dipetik melahirkan kebijaksanaan. Bukan keterpakuan. Teks bisa tiada arti, tanpa berusaha melihat konteks sebagai pesan inti.

Yang menarik-narik hijab sebagai hidayah, coba kita runutkan lagi. Jika out put hidayah adalah amal dan adab, perbuatan dan akhlakul karimah: yang berhijab tapi rasis dan intoleran, di mana adabnya. Pejabat yang berhijab, bersorban, tapi korup, hidayah yang sia-sia? Bahkan ulama. Bila ucapannya malah mencerca dan kasar, hanya membawa su’ul adab yang menular. Tiada jaminan casing agamis akan berakhlak dan humanis. Sebaliknya, yang tampil biasa tanpa embel-embel agama, bisa sangat jujur membela hak-hak manusia.

Adakah yang melihat kerlip ‘hidayah’ di sosok seperti ibu Menteri Susi Pujiastuti? Pejuang kehidupan yang dari nol berjualan ikan. Berhenti sekolah, tetapi tidak berhenti membaca dan belajar. Di tangannya bisnis lalu berkembang besar. Ia kemudian jadi srikandi, mengangkat laut Indonesia disegani. Sosok pekerja keras. Penuh kasih sayang pada orang tua, keluarga dan sesama. Baktinya pada nusa bangsa sudah nyata. Beliau layak mendapat pelakat champion tingkat tinggi. Menjadi bagian dari yang disabdakan Nabi: sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya. Tetapi… Ia tidak berhijab. Bahkan bertato. Sudah, tak perlu resah. Ibu Susi selesai dengan dirinya. Ia pun mungkin tak butuh pengakuan siapa-siapa.

Foto: keluarga King Abdullah of Jordania

Sumber : Status Facebook Nisa Alwis

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed