by

Mencecap Rasa Kemanusiaan

Dan drama penyanderaan itu mulai menemui titik terang ketika menjelang pergantian hari menuju Kamis (10/5), Iwan Sarjana dibebaskan dalam kondisi memprihatinkan. Operasi penanggulangan dilakukan, dan pada 07.15, Wakapolri Komjen Syafrudin menyatakan Operasi Penanggulangan Narapidana Terorisme selesai dilakukan. Total memakan waktu 36 jam.
 
Spontanitas masyarakat untuk memberi dukungan pada kinerja Polri berdatangan sejak diberitakan terjadi penyanderaan oleh narapidana terorisme. Mulai dari tagar #SavePolri, #KamiBersamaPolri, #KamiTidakTakut, #PolriBerduka, #LawanTeror, sampai ajakan melakukan doa bersama. Dan sepanjang Jumat (11/5), tulisan Brigjend Chryshnanda DL beredar luas.
 
“The Power of Love”, persis seperti sebuah judul film.  Bahwa di balik waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan kisah penanggulangan narapidana terorisme di Rutan Salemba cabang Kelapa Dua itu terdapat kisah kemanusiaan. Tentang seorang bayi, juga tentang 155 jiwa yang juga harus diselamatkan.
 
Chryshnanda seperti mewakili pertanyaan awam. Mengapa narapidana itu tidak diberondong, dibantai, atau dibom saja? Karena Polisi bukan teroris, mereka manusia, yang masih memiliki rasa kemanusiaan. Gegana Brimob, Densus 88, dan semua aparat yang diterjunkan untuk operasi penanggulangan adalah kawanan manusia yang masih memiliki hati nurani.
 
Polri mengedepankan kemanusiaan. Bayi yang ada di dalam tahanan diselamatkan lebih dulu. Bahkan dalam video yang sempat viral, para napi teroris yang dibawa ke Nusakambangan itu pun diperlakukan layaknya manusia. Mereka diberi makan, disuapi, ketika tangan dan kakinya harus diborgol.
 
Polisi yang dalam persepsi para teroris tak lebih dari binatang yang boleh dibunuh, dianiaya, dan dicabuti gigi-giginya seperti yang mereka lakukan terhadap seorang Polwan, justru lebih mengedepankan rasa kemanusiaan.
 
Ketika tanah kuburan lima anggota terbaik Polri masih belum kering, rasa kemanusiaan yang begitu pahit, pedih, dan pilu itu meninggalkan rasa kebanggaan bahwa setinggi-tingginya manusia adalah mereka yang masih menghargai manusia lain jauh mengatasi suku, agama, ras, golongan. Termasuk menghargai manusia-manusia yang menganggap manusia lain yang tak sepaham dengannya sebagai binatang.
 
Sampai di titik ini, dalam masyarakat yang sedang eforia dengan kebencian, mata ganti mata, gigi ganti gigi, di atas itu semua, kebencian akan tampil sebagai pemenang. Maka seperti pernah dikatakan Mahatma Gandhi. “An eye for an eye only ends up making the whole world blind.” Jika mata dibayar mata, maka seluruh dunia akan buta. Begitulah Polri memberi pelajaran yang sangat mahal.
 
Selamat jalan Briptu Luar Biasa Anumerta Wahyu Catur Pamungkas, Briptu Luar Biasa Anumerta Syukron Fadhli Idensos, Iptu Luar Biasa Anumerta Rospuji, Aipda Luar Biasa Anumerta Denny Setiadi, dan Brigpol Luar Biasa Anumerta Fandy Setyo Nugroho. Nama-namamu adalah tonggak peringatan bahwa rasa kemanusiaan tidak untuk dideskripsikan, tetapi untuk diamalkan. (*)
 
Sumber : Postingan Kristin Samah

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed