by

Menanti Keadilan di Karimun

Tapi, rupanya ada gerombolan yang gak setuju. Alasannya aneh. Mulai dari bikin macet sampai protes rencana tinggi gereja. Kata gerombolan yang protes itu tinggi gereja gak boleh melebihi rumah Dinas Bupati. 

Maksudnya, rumah dinas Bupati Karimun jangan sampai dikalahkan oleh rumah ibadah, tempat umat Katolik menyembah Tuhannya. Rumah Tuhan tidak boleh melebihi rumah Bupati. 

Satu lagi, gereja itu gak boleh pasang simbol salib di bagian luar bangunan. Aneh juga. Padahal yang memprotes itu bukan golongan Vampire yang kalau lihat salib langsung terbakar. 

Para demonstran terdiri dari kelompok Forum Umat Islam Bersatu dan Asosiasi Peduli Kabupaten Karimun. 

Gak apa-apa sih. Gak perlu pasang salib di atasnya, yang namanya gereja tetap saja gereja. Wong, burung gereja juga gak perlu pake kalung salib. Tapi orang tahu itu burung gereja.

Ok, disetujui. Gak usah pakai ttanda salib. Tinggi gereja juga direncanakan hanya 11,75 meter. Tinggi rumah dinas Bupati 12 meter. Sudah selesai?

Belom. Saat sedang proses renovasi datang lagi gerombolan yang menghalangi. Mereka meminta renovasi dihentikan. Ujungnya mereka menggugat IMB yang dikeluarkan Pemda ke PTUN. Sambil proses pengadilan, mereka menuntut proses renovasi dihentikan.

Kita tentu saja bisa sabar menunggu putusan pengadilan. Meskipun aneh. Apa urusannya orang-orang ini menggugat IMB gereja, karena alasan macet? Kalau begitu alasannya, dipastikan seluruh Karimun gak bisaa membagun. Takut macet.

Yang kemudian beredar, gereja St Joseph mau dijadikan cagar budaya. Jadi gak boleh dirombak. Hallo. Lu percaya ada gerombolan umat yang memprotes pembangunan tempat ibadah agama lain, dengan alasan mau menyelamatkan cagar budaya?

Kedengarannya sih, mengada-ada ya?

Lagipula keputusan soal cagar budaya belum ada. Gak bisa dong, dijadiin alasan. Gereja St Joseph sekarang bukan cagar budaya. Masa sesuatu yang belum ada dijadikan landasan gugatan hukum?

Sekarang malah salah satu panitia pembangunan gereja yang diadukan melakukan mencemaran agama. Hanya karena Romesko Purba hendak mempertahankan haknya untuk merenovasi rumah ibadah agamanya. Bagi pencari keadilan, kondisi ini menyakitkan.

Presiden Jokowi sendiri sudah berkomentar agar aparat dan Pemda menyelesaikan kasus ini dengan adil. Adil maksudnya, tidak boleh umat beragama dihalangi membangun rumah ibadahnya. Apalagi syarat-syaratnya sudah sesuai.

Intinya, Presiden Jokowi menyatakan, intoleransi tidak punya tempat di Indonesia. 

Nyatanya, yang berkembang jauh dari harapan Presiden. 

Ada lagi isu, soal relokasi gereja. Maksudnya, Gereja St Joseph dibiarkan saja jadi bangunan tua, sebagai cagar budaya. Lalu jemaah direlokasi ke tempat lain. Kok, gue dengernya kayak ngusir deh.

Kalaupun St Joseph jadi cagar budaya, emang gak boleh buat ibadah? Ada banyak masjid yang jadi cagar budaya tetap bisa buat ibadah. Gereja Katederal juga cagar budaya, bisa tuh buat ibadah, sampai sekarang. Gak masalah.

Bahkan Monas juga cagar budaya. Tapi bisa digelar sholat berjamaah disana. 

Sebetulnya kasus-kasus seperti ini merupakan koyakan pada baju kebangsaan kita. Di Jogjakarta, ada Front Jihad Islam yang memprotes keberadaan gereja di Hartono Mal. Padahal di mal itu, juga biasa digelar ibadah sholat Jumat.

Gue sih, aneh. Apa urusannya umat Islam mempermasalahkan kehadiran gereja. Kalaupun ada gereja di sekitarnya, emang iman sebagai muslim bakalan luntur? Kan enggak?

Coba lu perhatiin gereja. Dari luar kagak kedengeran suara ibadahnya. Gak ada toa. Kita gak bisa dengar doa bapak kami dibacakan di dalam. Sepi.

Terus, apa masalahnya? Emang iman lu luntur kalau cuma melihat bangunan gereja. Tipis amat iman lu, kayak karet kontrasepsi.

Gue juga protes ketika ada orang yang mempermasalahkan keberadaan Balai Pertemuan yang dijadiin Musholla di Minahasa Utara. Untung saja aparat bergerak cepat. Yang menghalangi ibadah ditangkap. Ijin balai pertemuan jadi musholah langsung dikeluarkan.

Tapi di Karimun. Ijin renovasi gereja udah keluar. Malah dipermasalahkan. Terus lu bilang, ini wajah Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika?

Begini deh. Kasus-kasus kayak gini, jika gak cepat diselesaikan akan terus bermunculan. Gesekan antar umat beragama sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Fungsi pemerintah mestinya menjaga agar semua harmonis. Bukan malah memberi angin gerombolan pengasong agama untuk selalu bikin kekacauan.

Yang mengeluarkan IMB adalah Pemda Karimun. Harusnya mereka yang paling didepan membela kebijakan yaang telah dikeluarkan. Bukan malah ngeles karena tekanan.

Pemda Karimun dibiayai dari pajak. Digaji dari pajak rakyat berbagai agama. Karena itu harus adil. Pemda adalah pemerintah. Mewakili semua agama. Disitulah ditentukan peran pentingnya.

Ketika terjadi benturan kepentingan antar masyarakat, yang pertama harus diacu adalah konstitusi. Konstitusi kita menjamin semua umat beragama menjalankan ibadahnya. 

Jika kasus Karimun dibiarkan berlarut-larut dengan mengoyak rasa keadilan publik, kita patut bersedih. Bangsa besar ini telah mengerdilkan dirinya sendiri. Telah memberi jalan sekelompok orang untuk betindak sewenang-wenang ats warga lainnya.

Orang mau ibadah dihalangi. Kalau nanti gak mau ibadah lagi di gereja, lalu gak mau bergama, akan dipersekusi juga karena dituding atheis. 

Iya, Valentine bukan budaya Indonesia. Tapi merusak menghalangi orang beragama lain untuk beribadah juga bukan budaya Indonesia. Itu budaya gerombolan ISIS.

Ulah gerombolan seperti ini, bukan cuma merusak Indonesia. Juga merusak citra Islam yang rahmatan lil alamin. 

“Kan gak semua orang harus kayak Felix Siauw jadi mualaf, mas?,” ujar Abu Kumkum.

Bettooollll…

(www.ekokuntadhi.id)

 
 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed