by

Menakar Kenegarawanan SBY

Bukan demokrat bermasalah sebagai Partai hari ini kita saksikan. Demokrat masih kuat dan eksis sebagai Partai berwarna Nasionalis dan masyarakat banyak masih berharap atas kiprah positfnya.
Taringnya masih tajam. Cengkeraman jari-jari tangannya, bahkan wibawanya pun masih terasa menjangkau seluruh pelosok negeri ini. Dia masih tetap Partai perkasa.
Sama dengan partai politik yang lain, Demokrat adalah alat kita dalam berdemokrasi. Demokrat masih akan dan harus terus eksis sebagai aset bagi demokrasi kita. Dia akan masih harus menjadi kendaraan yang layak bagi kita untuk sekedar menumpang atau bahkan ketika kita ingin mengemudi dalam cara kita berpolitik.
Untuk itulah Demokrat tak boleh dilemahkan apalagi bubar.
Bukan Demokrat akan bubar karena tekanan dari luar, justru dari dalam. Paling tidak, itulah apa yang hari ini kita saksikan. Paling tidak, ribut internal partai itu sendirilah justru yang hari ini dalam bising kita dipaksa mendengar.
Partai itu sedang tampak dikerdilkan. Dipakai hanya demi kelompok kecil, elit. Diprivatisasi oleh elit pemilik kepentingan dengan cara tak tampak menggunakan bahasa demokrasi di dalamnya.
Partai itu kini tampak sedang ingin dijadikan hak atas kepemilikan sah layaknya aset pribadi atau keluarga.
Adakah Ketum dijabat sang ayah dan anak menjadi Sekjend adalah normal bagi kepengurusan sebuah partai terbuka?
Dan kini, Ketum sang sulung, Waketum si bungsu dan ayah duduk di Ketua Majelis Partai juga sesuatu yang normal pada Partai Politik?
Sangat mungkin, karena kondisi seperti inilah mereka yang kritis dan berpandangan terbuka bertanya. Mereka merasa memiliki kewajiban menyelamatkan partai dimana mereka adalah juga sebagai pendiri.
“Bukankah partai itu memang didirikan demi alat pak SBY nyapres? Dan keluarga itu pula sebagai pemilik saham bukan?”
Bila 4 lembar travel cek yang masing-masing senilai RP 25 juta seperti yang ramai dibicarkan adalah apa itu saham, itu sangat kecil dan tak memiliki arti. Sangat mungkin, saham terbesar adalah keputusan sang ayah, entah meminta atau mengijinkan si sulung keluar dari militer demi Pilgub DKI adalah poin paling penting.
Apakah itu terkait dengan bentuk perasaan bersalah sang ayah dan sekaligus merasa harus bertanggung jawab atas masa depan dia yang telah terlanjur keluar dari militer dan kemudian menggantinya dengan jabatan ketum pada partai itu? Hanya sang ayah yang tahu.
Tak ada yang salah. Tidak pernah ada cerita seorang ayah bersalah karena berusaha menjamin masa depan anaknya. Bahwa obyek yang dipakai dan diberikannya tak tepat, mungkin itulah jawabannya.
“Emang ada yang ngelarang kalau bapak Ketua Majelis Partai, anak Ketum dan anak yang lain Waketum?”
Demikian pula ga ada yang salah bila para kader mulai dari mereka yang duduk di kepengurusan Wilayah, Cabang, hingga Ranting berusaha menggelar KLB di Sibolangit bukan?
“Salah..!! Dalam ADART, KLB dapat digelar hanya bila ada persetujuan dari Ketua Majelis Partai.”
Kata salah seorang pendiri ga perlu koq…
Kita lihat saja, toh bila ini benar tergelar, ujung-ujungnya, wasit akan dihadirkan dari Pemerintah Pusat dan dalam hal ini Menkumham.
Seharusnya jangan pernah terjadi KLB karena KLB sama saja mengundang pihak luar turut terlibat di dalamnya. Lihat PDI jaman tahun 1996, PKB Gus Dur, PPP dan terakhir Partai Berkarya. Semua berakhir ditangan Pemerintah sebagai pihak yang mau tidak mau harus terlibat.
Belum terlambat. Selalu ada cara bagi sebuah penyelesaian yang elegan bila kedua pihak mau berdiskusi. Selalu ada kebaikan atas kebiasaan bangsa ini bermusyawarah.
“Mau musyawarah apa? Tuntutan mereka tidak masuk akal. Mereka minta mas sulung lepas jabatan Ketum.”
Apakah masuk akal juga jika target sang ayah untuk anaknya adalah Gubernur DKI dan kini sangat mungkin berlarut pada cawapres atau capres pada 2024 nanti?
Masih tersisa waktu sangat panjang melihat umur si sulung yang masih sangat muda untuk menjadi besar pada suatu hari kelak. Hanya butuh kerendahan hati dan itu harga yang murah bagi niat baik menjadi salah satu pemimpin bangsa ini.
Bukankah si sulung secara akademis memang sangat pintar? Belum terlambat untuk kembali memulai dari bawah, Anggota DPR, Bupati, Walikota atau bahkan Gubernur dimana keterwakilan Demokrat di daerah itu sangat kuat. Masih panjang jalan itu disediakan bagi si sulung.
Partai Demokrat tak mungkin bubar dalam waktu dekat ini. Berpindah tangan karena proses KLB dan kemudian makin tak menarik dan kemudian bernasib sama dengan Partai yang tak memiliki kursi di DPR RI, bukan hal yang mustahil.
Sangat disayangkan bila aset bagi demokrasi kita yang bernilai triliunan rupiah itu dan sekuat itu hanya akan layu dan kemudian mati karena ego tak bisa dinego.
“Mungkinkah pak SBY mau?”
Sama dengan Tyson yang sesekali ingin dapat lawan seimbang demi membuktikan jumawa yang pernah diyakininya benar dan namun ternyata dia salah. Dia kalah oleh Holyfield yang tak pernah diunggulkan dalam seluruh jajak pendapat.
Demikan pula tak perlu kiranya jumawa pak SBY harus dipertontonkan karena seorang Moeldoko yang tampak lebih inferior di hadapannya.
Pak SBY hanya butuh menunduk dalam santun layaknya seorang pemimpin besar. Dan maka, Demokrat sebagai paetai dan aset demokrasi negara ini akan memberi jalan bagi banyak anak bangsa yang cerdas dan pintar termasuk si sulung dan si bungsu sekali pun.
Bukankah siapa pun dia yang pernah menjadi Presiden, seharusnya adalah tentang seorang negarawan? Begitulah pak SBY seharusnya.
Mundur selangkah demi bersiap maju seribu langkah seharusnya menjadi pilihan semua pihak yang bersiteru. Pak SBY sebagai pihak yang masih sangat dihormati hanya perlu sedikit menunduk bukan membungkuk.
.
.
RAHAYU
.
Sumber : Status Facebook Karto Bugel

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed