by

Menafsirkan Salam Ahok untuk Raja Salman

Kedua, dalam banyak kesempatan Ahok kadang tak sungkan untuk mengenakan atribut-atribut keislaman yang sering dikenakan oleh umat Islam, khususnya peci hitam. Menurut saya, peci hitam Ahok ini bukan peci hitam sembarangan (jadi lebay deh gue). Peci hitam Ahok adalah simbol toleransi dan kerukunan.

Ahok tak sungkan untuk mengenakan peci hitam yang selama ini dikenakan oleh umat Islam. Memakai peci hitam, bagi Ahok, tak secara otomatis merubah keyakinan yang selama ini ia jadikan sebagai pedoman. Dengan mengenakan peci hitam, Ahok tak merasa jadi orang murtad yang seketika itu keluar dari Kristen dan berubah menjadi orang Islam. Mengapa? Ya karena memang peci hitam tidak ada urusannya dengan keyakinan.

Ketika melihat atribut umat Agama lain, mestinya orang Islam juga berpandangan demikian. Kita harus tahu bahwa ada atribut umat Agama lain yang bertentangan dengan keyakinan kita sebagai umat Islam. Tapi ada juga atribut umat Agama lain yang sejujurnya tak ada sangkut pautnya dengan soal keyakinan. Saya tidak menganjurkan Anda untuk menggunakan atribut umat Agama lain.

Cuma kalau nanti Anda melihat orang Islam mengenakan topi sinterklas di hari natal, misalnya, Anda harus bisa membedakan antara mana atribut yang berkaitan dengan keyakinan, dan mana atribut yang tidak ada urusannya dengan keyakinan. Agar apa? Agar Anda tidak mudah mengafirkan apalagi sampe sweeping dan membuat keributan.  

Ahok juga biasa-biasa saja pake peci hitam. Peci hitam yang Ahok kenakan, dalam tafsiran saya, hendak berpesan bahwa atribut-atribut keagamaan hendaknya tak membuat seorang pemeluk Agama kaku ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda keyakinan.

Melalui peci hitamnya Ahok berharap agar orang Kristen hidup rukun dan damai dengan saudara-saudaranya yang beragama Islam. Dan melalui peci hitamnya Ahok menunjukan bahwa dirinya tidak membenci umat Islam apalagi membenci Islam dan kitab suci umat Islam. Ia menghormati Islam dan umat Islam. Dan penghormatannya itu ia tunjukan dengan cara menghromati Raja Salman.    

Ketiga, melihat Ahok bersalaman dengan Raja Salman, saya teringat dengan salah seorang teman Kristen saya yang suatu hari menceritakan pengalaman anehnya ketika bersalaman dengan orang Islam. Pernah dia berjumpa dengan orang Islam yang enggan bersalaman dengan non-Muslim kecuali pake penghalang.

Kalau nggak salah waktu itu dia bilang pake kertas. Iya. Bayangin coba. Dia mau salaman tapi harus pake kertas! Udah kaya nyomot t*i ayam. Mungkin dia memandang teman saya yang Kristen itu sebagai orang musyrik. Dan karena dia musyrik, maka dia itu najis, seperti yang disebutkan dalam salah satu ayat al-Quran.

Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 9: 28)

Ayat ini kadang dijadikan dasar oleh sebagian orang untuk melarang non-Muslim masuk masjid, menyentuh al-Quran, bahkan bersalaman, seperti kisah teman saya tadi. Halaman ini terlalu sempit untuk membahas penafsiran ayat tersebut. Tapi saya mau jelaskan sedikit.

Menurut Thahir Ibnu ‘Asyur, penulis kitab al-Tahrir wa al-Tanwir, yang dimaksud najis dalam ayat itu adalah najis maknawi (najasah maknawiyyah). Dengan kata lain, kenajisan yang disinggung oleh ayat itu berkaitan dengan keyakinan, bukan dengan fisik. Dan kelompok yang dimaksud dalam ayat itu, seperti kata al-Razi, dalam Mafatih al-Ghaib, adalah para penyembah berhala (abadat al-Autsan), bukan orang seperti Ahok yang masuk kategori Ahlu Kitab.

Dengan demikian, berdalil dengan ayat tersebut untuk memandang najis orang non-Muslim, melarang mereka masuk masjid, apalagi cuma bersalaman—seperti yang dilakukan Raja Salman—tentu sangat tidak relevan. Orang musyrik itu satu kelompok, sedangkan Ahlu Kitab itu kelompok lain. Keduanya tak bisa dicampur-adukkan. Karena itu, ayat yang turun kepada kaum Musyrik Mekkah, tidak serta merta bisa Anda pakai untuk menghukumi Ahlu Kitab yang hidup berdampingan secara damai.

Intinya, bersalaman dan mengucapkan salam kepada orang non-Muslim itu tidaklah terlarang. Dan tambahan, sekali lagi, memilih pemimpin non-Muslim yang hidup berdamai dengan kita juga tidak terlarang. Saya tahu bahwa bagi sebagian dari Anda hal semacam ini sudah tidak lagi memerlukan penjelasan. Tapi, harus diakui bahwa di luar sana masih ada saudara-saudara kita yang masih terjangkit virus abad kegelapan dan perlu mendapatkan perawatan.

Akhirul kalam, melalui tulisan yang sedikit lebay-ngejeblay ini, dari Mesir saya cuma hanya ingin mengucapkan, salaman ala Ahok, wa salaman ala malik salman (salam sejahtera untuk Ahok, dan salam sejahtera untuk Raja Salman). Sekian.

Kairo. 1.3.17

Sumber : Qureta

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed