by

Membongkar Akar Persekusi

Bila menilik data pengaduan, pembatasan/pelarangan dan perusakan tempat ibadah merupakan bentuk kasus terbanyak, diikuti pembatasan dan pelarangan ibadah/kegiatan keagamaan, serta ancaman/intimidasi terhadap kelompok keagamaan. Memang pelaku teradu dalam lebih dari setengah jumlah pelaporan adalah pemerintah daerah, dan baru kemudian disusul ormas. Namun, sehubungan pelanggaran oleh pemerintah daerah ini, Komnas HAM menegaskan ada tiga faktor yang berpengaruh, yaitu (1) lemahnya pengetahuan aparatur setempat mengenai norma-norma HAM; (2) adanya tekanan kelompok-kelompok intoleran yang tidak mampu diatasi kepala daerah; dan (3) tidak sinkronnya berbagai peraturan nasional dan daerah terkait dengan norma-norma HAM.

Pengaruh kelompok radikal serta respon dari pemerintah pusat dan daerah menyiratkan lemahnya penegakan hukum dalam perlindungan HAM —bahkan pembiaran dan penelantaran. Kasus terbengkalai yang kian menumpuk sepertinya telah mendorong kelompok-kelompok intoleran untuk terus menekan sampai menerobos dinding bilik rumah orang per orang sebagaimana ditunjukkan rentetan aksi tahun ini.

Seberapa seriusnyakah tindak persekusi itu? Artikel 7.1 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional menakrifkan persekusi sebagai aksi “yang dilakukan sebagai bagian dari bentuk serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil mana pun” dengan itikad menyerang. Dalam prinsip-prinsip Nuremberg, khususnya prinsip keenam, persekusi dinyatakan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang tercakup dalam ranah hukum internasional. Maka, ya, persekusi berkonsekuensi hukum berat.

Dengan demikian, patut diapresiasi upaya pemerintah untuk membubarkan ormas intoleran via jalur pengadilan. Pihak kepolisian pun telah menahan pelaku dalam beberapa kasus persekusi sebagai tanggapan terhadap protes publik yang terutama disalurkan melalui media sosial. Kepala kepolisian lebih jauh menegaskan akan menindaklanjuti kasus-kasus serupa sekalipun tanpa ada laporan. Pendisiplinan bahkan dilakukan terhadap anggota jajaran yang tidak memberi respons sekalipun sudah menerima pengaduan.

Bagaimanapun, gejala persekusi tidak mungkin dihentikan tanpa dukungan luas dari publik. Di antara orang banyak, tampaknya semakin menguat kesadaran bahwa masalah ini serius dan merupakan tanggung jawab segenap warga negara —bahwa kepedulian terhadap masalah seperti ini tidak lagi cukup diwakilkan pada segelintir untuk disuarakan.

Perlawanan mungkin tercermin dari semakin banyak warga yang berani bersuara, melaporkan kejadian, dan membantu langsung para korban, dengan satu atau lain cara. Perdebatan berlangsung semakin sengit di gelanggang medsos karena kontestasi ide telah banyak berpindah ke dunia maya. Namun, dalam lingkup sosial daring, baik penyokong gerakan sipil maupun kelompok radikal sama-sama diuntungkan perkembangan teknologi untuk mengakses dan berbagi informasi dalam membangun komunikasi dan jejaring kerja.

Secara kelembagaan, negara telah membentuk Badan Siber dan Sandi Negara untuk melakukan konter daring. Bila hal ini dianggap belum mencukupi, masih ada upaya rekontekstualisasi Pancasila sebagai acuan jalan hidup berkebangsaan. Berbagai bentuk dukungan terhadap inisiatif ini dapat dilihat bergulir di tengah-tengah masyarakat pekan terakhir ini. Di sisi lain, Perpres 57/2017 diterbitkan terkait pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pelbagai upaya yang ada sejauh ini akan cukup untuk memotong aksi kekerasan ormas radikal sampai ke akarnya?

Secara kelembagaan, boleh dikatakan pemerintah dan masyarakat mulai bergerak nyata untuk mencicil sebagian pekerjaan rumah yang diwariskan. Namun, patut diingat, aksi kekerasan pada dasarnya bertolak dari kesenjangan persepsi mengenai cara berbagi ruang hidup antara berbagai elemen masyarakat yang berbeda. Lebih jauh, pandangan yang menampik perbedaan ini —benih-benih radikalisme— hanya cocok tumbuh di lingkungan yang miskin keragaman atau mengalami penyeragaman.

Bangsa kita sebetulnya berwatak komunal, terbiasa menjaga keselarasan hidup berkelompok dengan cara menghindari konflik antarpribadi. Bagi sebagian orang, tidak mungkin untuk tidak mengikuti norma kelompok karena kuatnya tuntutan untuk menjaga kohesi kelompok.

Kita mengenal ungkapan “bila satu anggota badan sakit, maka seluruh tubuh akan merasakannya”. Bisa jadi karena itulah ada kecenderungan di masyarakat untuk mengurusi dan mengatur segala kebutuhan anggotanya; sampai-sampai batas-batas pribadi menjadi sumir. Padahal, bila mengikuti perumpamaan yang sama, masing-masing anggota tubuh memiliki karakteristik unik dengan kebutuhan dan fungsi yang otonom.

Bukan lantas setiap kelompok komunal pasti menjadi lahan subur bagi radikalisme. Sebaliknya, di negeri dengan kekayaan hayati yang beraneka ragam ini, perbedaan tak dapat diingkari dan sudah pada galibnya ada. Keragaman justru menjadi sumber kemampuan bertahan komunitas, bukan ancaman terhadap kehidupan.

Perjalanan keindonesiaan kita sendiri memperlihatkan proses akulturasi yang kental: pengaruh luar sebagian besar masuk secara damai dan direngkuh dengan tangan terbuka. Demokrasi modern kita pun pada mulanya berkembang penuh harapan. Namun, peralihan dari demokrasi multipartai ke Demokrasi Terpimpin telah menandai awal kemunduran dalam pertukaran pemikiran kebangsaan. Proses ini disempurnakan selama 32 tahun rezim Soeharto melalui apa yang disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila.

Mereka yang mengalami era itu mestinya dapat mengingat bagaimana publik diawasi dan dikondisikan agar perbedaan tidak lagi dibicarakan secara terbuka. Perbedaan dibiasakan untuk disamarkan, disapu diam-diam ke bawah tikar. Pilihan diminimalkan: kepercayaan, nama, kosakata dan bahasa, bahkan jumlah partai atau simbol warna. Baris-berbaris secara rapi merupakan hal yang membanggakan; semakin seragam semakin baik. Rekayasa ini bertolak belakang dengan kecenderungan alam lingkungan masyarakat, sehingga baik benih resistensi maupun apati mulai tumbuh menyebar. Ekstremnya, benih-benih radikalisme yang semula asing dapat menemukan tempat bertumbuhnya di sini.

Kini ada kompleksitas mengingat dunia semakin terhubung oleh pesatnya perkembangan teknologi. Kita semua seperti menghadapi kotak pandora atau pisau bermata dua.

Dalam menyikapi akselerasi perubahan, sebagian beruntung mampu bergegas melakukan penyesuaian; membuka diri pada berbagai tawaran baru untuk bermitra dan memperluas jaringan. Sebaliknya, kondisi ini lebih sulit bagi kelompok yang ingin mempertahankan akar komunalnya sementara rentang perhatian yang dapat diberikan kepada seluruh anggota semakin terbatas.

Di antara mereka yang susah payah melakukan adaptasi tersebut, tak jarang ada yang tersingkirkan. Dan masih ada kelompok kecil yang gamang dan tak lagi punya cukup kesabaran. Mereka kemudian berpaling pada apa yang sudah cukup lama dipelajari bangsa ini: menundukkan anggota komunitas melalui penyeragaman agar seakan-akan memudahkan pengendalian dan pengaturan kelompok.

Di dunia yang lama, upaya penyeragaman jauh lebih mudah karena sifatnya satu arah mengikuti garis komando. Di dunia yang baru, titik kekuatan tidak satu dan tidak selalu jelas. Upaya penyeragaman akan berhadapan dengan resistensi; berkelindan dan melahirkan kubu-kubu yang mengeras di level horizontal. Taruhan termahalnya: nyawa manusia sekaligus persatuan bangsa.

Oleh karenanya, penghentian aksi persekusi dan pengikisan radikalisme menjadi mutlak saat ini. Untuk mengatasi isu krusial ini, upaya-upaya kelembagaan yang ada akan memerlukan seluruh unsur masyarakat bersatu mendukungnya, Namun, masyarakat sipil pun seyogianya terus waspada dalam mengawal proses. Upaya yang diawali itikad baik ini tidak perlu terjebak jatuh kembali menjadi proses penyeragaman pemikiran, walau mungkin mengambil bentuk yang berbeda.

Dalam keseharian kita pun, seyogianya keragaman terus dirayakan dan diserukan. Kita terutama berutang pada generasi lebih muda dalam memperkenalkan mereka pada yang liyan. Mereka perlu memperoleh jaminan untuk dapat membicarakan perbedaan dengan terbuka tanpa pembungkaman agar mereka tetap dapat menjadi pembawa api harapan dan persaudaraan.**

Sumber : qureta

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed