by

Memahami Syariat Hukum Islam di Era Kekinian

Hukum ini tidak boleh mendzolimi siapapun, tidak mengandung unsur penyiksaan, dan unsur kekejaman.
Yang kedua , bahwa syareat Islam meletakkan beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan hudud.

Agama Islam telah menggambarkan sifat-sifat dan kondisi-kondisi yang harus ada apabila sebuah negara ingin menerapkan dan melaksanakan hukuman itu. Dan apabila syarat, kondisi, dan sifat-sifat yang ditetapkan tidak terpenuhi, maka
hudud tidak bisa terlaksana.
Orang yang membaca dan merenungi ayat-ayat al-Qur’an akan memahami bahwa syareat tidak pernah menjadikan hukuman-hukuman itu sebagai tujuan balas dendam dan menyiksa. Akan tetapi ia berfungsi untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan serupa.

Dan hudud tidak boleh dilaksanakan apabila pihak korban bersedia dan mau memaafkan si pelaku. Banyak sekali hadits-hadits nabi yang menjelaskan permasalahan ini.
Dalam kurun waktu 1000 tahun, negara Mesir tidak melaksanakan praktek hudud. Hal itu dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat yang bersifat syar’i yang membolehkan pelaksanaan hukuman.

Agama Islam membolehkan pembatalan hukum. Hal ini didasarkan pada hadits nabi, idro’uu al-hududa bis syubhat (hadits ini disebutkan di kitab mukhtasor al–
maqosid dan kitab talkhisul khobir), artinya: “ tinggalkanlah hukuman-hukuman karena adanya syubhat (ketidakjelasan) ”.
Hadits lain mengatakan, idro’ul hududa ‘anil muslimina mastatho’tum, fa in kaana lahu makhrojun fa khollu sabiilahu. Fa innal imam an yukhti’a fil ‘afwi khourun min an yukhti’a fil ‘uqubati (tinggalkanlah hukuman-hukuman itu dari kaum muslimin sebisa mungkin. Apabila ia memiliki cara lain, maka pakailah cara itu. Seorang hakim yang salah dalam memutuskan sebuah perkara lalu memberi maaf, lebih baik dari pada yang salah dalam memutuskan suatu perkara lalu menetapkan hukuman). (HR. Tirmidzi, Al-Baihaqi, Al-Hakim).

Akhir zaman memiliki beberapa sebutan dan Diantaranya zaman darurat, zaman syubhat, zaman fitnah, zaman kebodohan dan lain lain. Sifat-sifat zaman ini tentu saja berpengaruh pada pelaksanaan hukum syareat. Para ulama mengatakan
addzorurotu tubiikhul makhdzurat (keadaan darurat membolehkan hal yang sebelumnya dilarang) -meskipun sifat darurat ini telah menetap dan dilakukan terus-menerus.
Sesungguhnya syubhat dapat mengakibatkan batalnya pelaksanaan hukuman.

Imam Ja’far Sodiq, Imam al-Karkhi al-Hanafi dan teman-temannya pernah berpendapat untuk menggugurkan keharaman melihat wanita-wanita telanjang di suatu daerah tertentu -karena hampir semua perempuan di daerah itu tidak memakai hijab-. Sehingga kewajiban godzdzul basor (menghindari pandangan) sulit dilakukan.

Terkait dengan penjelasan di atas, salah seorang ulama besar -Imam ar-Rozi- memiliki sebuah istilah yang dinamakan dengan an-naskhul ‘aqli. An-naskhul ‘aqli berarti hilangnya tempat pelaksanaan hukuman. Maksudnya, bahwa suatu hukuman tidak mungkin bisa terlaksana apabila tempatnya telah hilang.

Misalnya perintah untuk melakukan wudhu, apabila seseorang tidak memiliki tangan maka kewajiban membasuh tangan ketika berwudhu gugur. Begitu pula dengan hukum-hukum yang lain seperti hukum perbudakan, khilafah Islamiyah , transaksi jual beli yang menggunakan mata uang emas dan perak, dan masih banyak lagi.

Untuk sampai pada tujuan penerapan hukum syareat yang hakiki dan dapat melaksanakan apa yang menjadi keinginan Allah SWT, kita harus bisa memahami dengan cermat akan kondisi dan peristiwa yang terjadi di daerah tertentu.
Di dalam kitab sya’bul iman, Wahb bin Manbah mengatakan bahwa seorang yang pandai harus bisa memahami keadaan dan kondisi di zaman ia hidup, mengetahui bahasanya, dan menguasai informasi dan kabar-kabar terkini. (riwayat Al-Baihaqi).

Para ulama ahli fiqih telah mengatakan bahwa hukum-hukum syareat dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu (dikutip dari majallatul akhkam al-’adaliyah ). Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa boleh hukumnya praktek akad yang rusak di negara-negara non Islam.

Sesungguhnya hukum di dalam agama Islam dapat berubah dengan berubahnya tempat. Ada sebuah kaidah usul fiqih yang berbunyi,
adzdlorurotu tubihul mahdzurot
(keadaan darurat bisa membolehkan sesuatu yang sebelumnya dilarang). Kaidah ini disarikan dari firman Allah, “ barang siapa yang terpaksa melakukan keharaman bukan atas dasar keinginan nafsu dan tidak melampaui batas maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”. (QS. Al-Baqarah : 173).

Hukum juga akan berubah dengan perubahan pelaku. Kejahatan yang dilakukan oleh orang normal memiliki hukuman yang berbeda dengan hukuman bagi orang yang tidak normal. Ada 4 hal yang menjadikan hukum bisa berubah yaitu: waktu, tempat, orang, dan keadaan. Imam al-Qorofi mengatakan bahwa keempat hal ini harus kita perhatikan dengan benar ketika hendak menetapkan suatu hukum peristiwa tertentu.

Negara-negara Islam yang jumlahnya sekitar 56 negara memiliki hukuman yang berbeda dengan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syareat agama Islam -seperti potong tangan, rajam , dan qishos– . Hal ini bisa terjadi karena kaum muslimin memandang bahwa zaman sekarang adalah zaman syubhat . Nabi Muhammad SAW bersabda, idro’u alhududa bis syubhat (tinggalkanlah hukuman karena adanya syubhat ).

Adapun adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang agar hudud dapat diterapkan, bukanlah jalan yang terbaik. Karena nabi Muhammad SAW sangat berhati-hati untuk melakukan hukuman itu.

Misalnya ketika mendapati ada salah seorang muslim yang melakukan perbuatan zina, beliau bertanya padanya sampai 4 kali karena beliau sangat berhati-hati apakah akal orang itu masih sehat atau tidak.
Bahkan ketika hukuman akan dilaksanakan dan pelakunya kabur, nabi membiarkannya lari seraya berkata, ‘ biarkan ia pergi, mungkin ia akan bertaubat ’. Dan benar apa yang dikatakan nabi, orang itu lantas segera bertaubat dan Allah menerima taubatnya.

Dari peristiwa ini para ulama kemudian meneliti dan mengeluarkan fatwa tentang bolehnya menarik kembali pengakuan atas kejahatan yang dilakukan, selama dalam batas hak-hak Allah, dan bukan dalam ranah hak-hak manusia. Sebagaimana nabi juga tidak mempertanyakan mengenai pihak yang kedua -yaitu si wanita yang diajak berzina-. Nabi Muhammad tidak mencarinya untuk dihukum.

Diriwayatkan, “ pada zaman Abu Bakar ada seseorang yang mencuri.
Setelah tertangkap kemudian ia dibawa kepada sahabat Abu Bakar, Umar, dan Abu Hurairah. Lalu mereka bertanya padanya, ‘apakah
engkau mencuri?’, ia menjawab ‘tidak’. Dan pencuri itu tidak menerima hukumannya ”. (HR. Abdurrazak, Ibnu Abi Syaibah).
Apabila hudud benar-benar diterapkan, maka pelaksanaannya harus ditujukan untuk pengagungan dosa sebagai akibat dari suatu tindak kejahatan. Bahwa maksiat yang dilakukannya adalah perbuatan dosa besar yang pantas mendapatkan hukuman yang besar pula. Dengan ditetapkannya hukuman ini diharapkan masyarakat menjadi takut untuk melakukan maksiat serupa.

Allah berfirman, “ dengan hukuman itu Allah menakut-nakuti kalian. Wahai hamba-hambaku, maka takutlah kalian dan bertakwalah ”. (QS. Az-Zumar: 16).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelakanaan hukuman boleh ditinggalkan apabila terdapat hal-hal yang subhat, atau adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi. Islam membuka lebar pintu taubat dan memerintahkan kaum muslim agar ia menutupi kesalahan dan dosa yang telah diperbuat oleh saudara-saudaranya.

Dalil-dalil tentang perintah Allah untuk menutupi aib dan dosa orang lain sangatlah banyak. Diantaranya Rasulullah SAW bersabda, innallaha sittirun, yuhibbus sitr (Allah adalah penutup aib, dan Ia menyukai tutup). Semoga penjelasan singkat ini semakin membuka cakrawala berfikir kita. Wallahu a’lam.

Sumber : Status Facebook Rijalul Wathan Al-Madury

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed