by

Memahami Kemarahan pak Jokowi

Misalnya analoginya dapur saya. Kapan kualitas produk buruk, pelanggan tidak mau tahu lagi soal saya tetiba curhat tentang Sumi yang kerja asal-asalan, Titin yang lambat, Nia yang ngeyel, Lina yang salah oles apa Mila kurang teliti. Misalnya begitu.

Yang orang tahu, saya yang paling bertanggung jawab mengatur kestabilan dapur. Saya yang bertanggung jawab kalau hasil produksi tidak mencapai standar. Saya yang punya kuasa mengeluarkan aturan dan sanksi, saya yang punya tanggung jawab mengukur target dan merencanakan langkah-langkah pencapaian.

Saya wajib menguasai medan peperangan saya maka saya sudah seharusnya bisa mengendalikan setiap gerak dan kinerja pasukan saya.

Nanti ada delegasi tugas, iya benar. Tapi tetap saya yang pasang badan semisal pendelegasian tugas itu gagal.

Asisten yang saya pekerjakan kerjanya buruk? Ya berarti ada yang keliru dengan standar kerja atau memang asistennya lemah. Kenapa saya bisa mempekerjakan asisten yang tidak bisa bekerja secara baik? Ya, saya harus sadar diri bahwa mungkin saya memang pernah lalai atau kurang teliti pas memutuskan mengangkat si A menjadi asisten.

Tahu darimana kinerja asisten A buruk? Ya dari evaluasi. Lalu biasanya kelihatan di prosesnya ada yang nggak jalan sesuai harapan atau ada tujuan-tujuan yang gagal dicapai. Bahkan timbul kerugian karenanya.

Antisipasinya?

Ya suruh si asisten perbaiki kinerjanya, kasih target dan sanksi yang jelas atau ganti orangnya. Kalau mereka bingung ada dua sebabnya. Mereka memang tidak mampu memahami instruksi saya atau sayanya yang gagal membuat instruksi yang mudah mereka pahami.

Tapi harus dikerjakan dengan cepat kalau risiko yang dihadapi juga besar. Nggak pakai lebay, menyesali ini itu, tunggu keajaiban dulu, dst. Supaya apa? Supaya kerugian yang ditanggung nanti bisa diminimalisir. Supaya tidak mengakibatkan kekecewaan yang lebih mendalam pada orang-orang yang saya layani.

Apalagi kalau macam urusan pandemi ini. Bidang ekonomi minus, bidang pendidikan tersendat, bidang kesehatan semaput. Banyak orang mati sia-sia. Kacau tenan.

Bukan saya ndak kasihan sama beban seorang pemimpin. Tapi saya lebih pilih jatuh kasihan sama nyawa banyak rakyat dan nakes yang jadi taruhan. Bukan kasihan lagi, sedih sudah sampai tingkat merana.

Besok tanggal gajian, saya masih sanggup bayar gaji asisten. Nggak tahu teman-teman lain. Mudah-mudahan juga masih sama bertahan, masih sama kuat semangatnya. Belakangan saya suka minta didoakan sama sahabat dan pelanggan, supaya saya kuat nyetok beras untuk dikasihkan ke driver ojol. Minimal lihat ekspresi sumringah mereka, saya bisa mencuri sedikit semangat dari mereka yang juga napasnya sudah kembang kempis.

Sebenarnya saya dan teman-teman lain bisa mencari satu dua ide untuk saling membantu dan menyelamatkan, masalahnya kalau contoh yang di atas babak belur kayak sekarang, rakyat jelata dengan kemampuan seadanya macam kami ini jelas jadi keder.

Yang punya kuasa atas anggaran trilyunan saja nggak signifikan hasilnya, apalagi kami yang modalnya cuma kuota.

Sumber : Status Facebook Mimi Hilzah

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed