by

Memaafkan Itu Menyembuhkan

 

Nyawanya tertolong, namun lukanya sangat parah sehingga ia harus tinggal cukup lama di rumah sakit untuk penyembuhannya. Ia merasa sudah putus asa, tak ada gunanya hidup lagi. Tadinya ia mau menikah dengan calonnya, tapi siapa yang mau menikah dengan orang yang cacat luka bakar sekujur tubuh? Deraan kesakitan fisik bercampur dengan mentalnya yang semakin jatuh.

Keajaiban itu datang. Calon perempuan mendatangi dan mengatakan, supaya mereka segera menikah. Ia bilang, cinta tak hanya di masa suka saja, tetapi juga harus hadir di masa duka. Dan salah satu motivasinya adalah, supaya ia bisa merawat Febby yang jelas masih butuh bantuan meskipun hanya untuk sekadar ke kamar mandi. Kalau sudah menikah lebih leluasa merawatnya, karena sudah halal. Suatu dedikasi yang luar biasa. Mental Febby bangkit. Yang tadinya ia mengutuk takdirnya, mulai berubah, ia mulai bisa menerima takdirnya.

Empat bulan ia harus dirawat di ICU, sebelum dipindah ke instalasi biasa selama sebulan, dilanjutkan dengan rawat jalan sebulan. Dengan bekas luka yang tak mungkin bisa hilang.

Ketika proses penyembuhan itu pun tak jarang mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Misalnya ketika tengah di tempat makan, orang yang tadinya mau duduk di dekatnya, mendadak menjauh begitu melihat tangannya masih penuh perban. Demikian juga orang yang sedang dalam lift, begitu ia masuk, beberapa langsung keluar. Mentalnya terasa jatuh. Ia sudah menjadi korban bom, ia juga diperlakukan tidak baik oleh masyarakat yang lain.

Tapi cinta dari istrinya, membuatnya kuat dan semakin kuat. Suatu waktu, ia menguatkan dirinya untuk mendatangi anggota jejaring teroris yang terlibat dalam bom itu. Para napi teroris itu ketakutan melihatnya, ada yang sampai bersimpuh seolah mau bersujud.

Febby berkata,”Sujud itu hanya untuk Allah SWT. Bangunlah. Aku datang untuk memberi tahu bahwa aku memaafkan kalian”.

Memaafkan para pelaku pemboman adalah hal yang paling membuatnya semakin kuat mentalnya. Kalau ia kemudian membenci para teroris, yang sebenarnya sangat bisa dimaklumi, ia menganggap bahwa ia tak ada beda dengan para teroris itu, penuh kebencian. Ia ingin mengusir rasa kebencian itu jauh-jauh.

Suatu waktu ia bertemu dengan salah satu mantan teroris yang sudah bertaubat dan justru menjadi agen deradikalisasi, Ali Fauzi, yang merupakan saudara dari Amrozi dan Mukhlas yang dieksekusi mati karena terlibat bom Bali. Ali Fauzi memeluknya dan meminta maaf. “Aku kehilangan dua saudaraku, tetapi aku punya satu saudara baru”.

Ya, mereka kemudian aktif menjadi duta untuk menginsyafkan para teroris, juga aktif memberi pencerahan kepada generasi muda supaya tidak tersesat dalam jalan terorisme.

Sore tadi ia satu panel dengan Yudi Zulfahri, mantan PNS alumni STPDN yang sempat bergabung dengan teroris di Suriah, sebelum akhirnya insyaf dan kembali ke jalan Islam yang benar. Ia kemudian menjadi duta yang aktif mengajak pemuda supaya tidak tersesat mengikuti jalan hitamnya yang terdahulu. Sekitar 90 anak muda peserta workshop dari berbagai kota tampak serius mendengarkan diskusi mereka.

Saya pun bersyukur bisa bertemu dan mendapatkan ilmu dari mereka. Cacat fisik mungkin tak bisa hilang, tapi kebencian bisa diusir jauh. Memaafkan itu menyembuhkan.

 

(Sumber: Facebook Muhammad Jawy)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed