by

Melawan Gravitasi

Oleh: Denny Siregar
 

“Kenapa seseorang bisa menjadi apatis ?”

Temanku bercerita banyak saat kami bertemu sore tadi di sebuah warung kopi.

Aku hampir tidak mengenalnya. Ia dulu seorang yang selalu mengeluh, apapun dikeluhkannya. Meski bibirnya tidak berbicara, tetapi raut wajahnya selalu menunjukkan kesusahan.

Ia dulu bahkan sudah tidak mau lagi mengurus perusahaannya. Ia biarkan begitu saja, mati segan hidup tak mau. Tapi tetap ia harus membayar semua biaya operasional, mulai gaji karyawan sampai cicilan gedung tempat usahanya berjalan.

Dia sekarang tampak berbeda..

“Apatis itu penyakit menular..” lanjutnya sambil memegang secangkir kopi panas.

” Ketika lingkungan sekitar kita membawa pengaruh negatif, maka secara tidak sadar kita juga berubah menjadi sosok negatif..

Aku dulu selalu curhat terhadap masalahku, ke semua orang. Hingga aku sadar bahwa aku sebenarnya hanya mencari simpati, minta dikasihani. Dan sialnya, aku malah berkumpul bersama orang2 yang modelnya juga sama.

Pembicaraan kami tidak lebih dari masalah kesulitan. Ada yang selalu sulit uang, ada yang terlibat hutang, ada yang masalah rumah tangga bahkan ada yang selalu merasa miskin meski gaya hidupnya tidak berkurang.

Duduk bersama mereka seperti duduk dalam kubangan, yang menyedotku perlahan2. Aku merasa punya teman senasib dan sepenanggungan. Hanya berbicara bahwa si anu hebat, si anu payah. Ketika melihat yang berhasil, kami iri. Ketika ada yang susah, hati kami bersorak.

Akhirnya , agama menjadi pelampiasan untuk mencari pembenaran bahwa semua ini adalah ujian Tuhan. Shalat hanya sebagai ritual supaya hati tenteram. Tapi aku tidak pernah sedikitpun beranjak dari lingkaran masalah, karena yang kucari hanya simpati dan bukan solusi.

Rasanya malas menjalani hari2 karena tampak suram. Daya tarik mereka kuat sekali, menjebakku pada masalah yang semakin dalam. Karena otakku bahkan tidak kupergunakan untuk mencari jalan keluar…”

Dia menghisap rokoknya dalam2 dan tanpa sadar kopinya sudah tinggal separuh.

” Dan itu berlangsung lama sekali…

Sampai satu waktu – entah kenapa – aku tersadar.. Aku tidak ingin seperti mereka yang terus tenggelam, bersembunyi dibalik keluhan, terus membentengi diri dengan berbagai macam alasan.

Aku harus berbeda. Akal sehatku bergerak. Aku tidak mau duduk dan terus menangisi kegelapan. Aku keluar dari mereka sekedar untuk mencari cahaya yang terang.

Dan aku bertemu dengan orang2 yang positif. Orang2 yang selalu menjadi lilin dan menerangi mereka yang ada di sekitar. Orang yang tidak manja dan selalu bersembunyi dibalik kata terserah apa maksud Tuhan.

Aku seperti diajarkan bahwa Tuhan itu cahaya. Dan kegelapan itu berarti ketidak-hadiranNya. Aku sendiri yang tidak menghadirkanNya, tetapi selalu berkata bahwa ini ujianNya. Tuhan menjadi kambing hitam..

Dan kamu lihat sekarang, aku sudah berbeda. Aku melawan gravitasi. Susah memang, tetapi harus kulakukan jika tidak aku yang hanyut dan tenggelam..”

Aku mengangkat segelas kopiku. Perjalanan hidup seseorang selalu menarik bagiku dan kucatat dalam lembaran2 di akalku.

Terkadang secangkir kopi mengajarkan bahwa kepahitan sejatinya adalah kenikmatan..

Sudah malam, waktunya pulang. Kuangkat ransel, kembali bertualang mencari makna2 hidup yang sempat menghilang…

(Sumber: www.dennysiregar.com)

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed