by

Melawan dari Dalam

Oleh: Kajitow Elkayeni
 

Para bajingan biadab yang melakukan kekerasan (terutama dalam hal seksual) terhadap perempuan itu bukan laki-laki sejati. Jika pelakunya laki-laki. Mereka belum sepenuhnya jadi manusia. Tapi kekerasan seperti itu juga dilakukan oleh perempuan terhadap perempuan. Aksi kekerasan terjadi karena ada pihak yang merasa lebih superior. Sebab-sebab lain hanya tambahan.

Sulit untuk menunjuk faktor dominan di sana. Kita bisa menyalahkan budaya atau dogma. Tapi aksi kekerasan seksual di Amerika dan Inggris juga tinggi. Korbannya tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Jadi tidak benar tuduhan bahwa lelaki adalah manusia bejat. Meskipun memang banyak yang demikian. Terutama dalam budaya patriarkhi yang kuat.

Orang juga bisa menuduh minuman keras atau video porno menjadi biang keladinya. Tapi jika melihat Saudi atau Afganistan, aksi kekerasan seksual juga banyak terjadi. Padahal minuman keras dan video porno jelas dilarang. Melihat perempuan sedikit lebih lama saja dilarang. Tapi larangan-larangan itu tidak mencegah tingginya aksi pelecehan seksual di sana. Bahkan banyak kejadian pelecehan di tempat suci, seperti Masjidil Haram. Apakah mereka tidak takut Tuhan? Pertanyaan yang bagus. Tapi sia-sia.

Banyak orang lebih mudah menyalahkan satu faktor saja, bahkan kadang dengan tuduhan konyol ala negara berkembang. Pakaian dan kelakuan perempuan dijadikan penyebabnya. Merekalah yang mengundang syahwat. Mereka telah membuka pintu setan. Perempuan menjadi tertuduh. Tak perduli jika mereka sebenarnya adalah korban. Apalagi dalam kaidah budaya pengkambing-hitaman Indonesia. Perempuan lebih mudah disalahkan. Mereka harus salah, karena mereka lemah.

Menghadapi cara pandang yang gila ini. Mau tidak mau, perempuan harus disiapkan. Jika budaya patriarkhi yang jadi faktor kelemahannya. Cara pandang itu harus didobrak. Perempuan harus dibangkitkan kesadarannya. Bahwa upaya merendahkan adalah pelecehan, termasuk ketika mereka disiuli di jalan. Untuk itu mereka harus melawan. Karena diam saja tidak cukup. Orang-orang terlanjur nyaman dengan sikap diam ini. Dan pelaku pelecehan itu diuntungkan.

Kereta khusus wanita, bus khusus wanita, halte khusus wanita, dan hal-hal khusus lain bagus, tapi apakah itu mengakhiri persoalan? Negara-negara yang memanjakan perempuan secara berlebihan, justru akan membuat perempuan lemah. Ini belum membicarakan asas kesetaraan gender. Memberikan kemudahan secara tidak adil justru merendahkan perempuan. Itu akan mendoktrin mereka, bahwa mereka lemah, bahwa mereka tak bisa melindungi diri sendiri.

Perempuan harus membekali diri dengan kemampuan membela dirinya sendiri. Jika doktrin agama yang jadi faktor kelemahannya, dogma itu harus dikaji ulang. Penting untuk membuat mereka mandiri daripada memanjakannya. Tidak salah perempuan menguasai bela diri. Tidak keliru jika perempuan memaki secara lugas orang yang melecehkannya. Perempuan bukan lagi porselen halus yang rapuh. Keindahan tidak mesti ditunjukkan bersama kelemahan. Perempuan bisa diibaratkan permata, mereka indah tapi juga sangat keras.

Menyalahkan laki-laki saja tidak akan mengakhiri masalah. Karena faktanya, laki-laki juga jadi korban. Begitu juga dengan menyalahkan minumam keras atau game. Banyak hal yang mesti diselesaikan. Jadi omong kosong Fahira Idris, ketua KPAI, dll itu semata karena kedunguan mereka saja. Menyalahkan salah satu faktor sebagai penyebab utama adalah kemunduran cara berpikir. Kejahatan tidak pernah terjadi karena satu sebab. Ia akumulasi ribuan sebab. Ia residu kekacauan budaya, dogma, hukum, ekonomi, dsb. Kejahatan tidak lahir begitu saja.

Maka melawan dari dalam adalah upaya paling mungkin. Persoalan lain memang mesti diperbaiki. Memberikan hal khusus boleh saja dilakukan. Tapi perempuan (termasuk lelaki lemah) harus memberikan perlawanan. Minimal mereka harus meyakini, bahwa mereka punya hak untuk tersinggung. Mereka boleh memaki. Mereka harus menempa diri, melakukan persiapan-persiapan perlawanan. Hal itu pertama kali mesti dimulai dari dalam, dengan melampaui rasa takut.

Karena sejatinya perempuan tidak lemah, mereka hanya dilemahkan. Dibuat rapuh seperti porselain oleh dominasi kebudayaan patriarkhi. Dengan dalih itu mereka perlu dilindungi, dimanjakan, sekaligus dengan mudah bisa diterkam. Kita berduka untuk Yuyun, tapi di dunia biadab ini, mengutuk saja tidak cukup. Perempuan harus melawan.

 

(Sumber: Facebook Kajitow Elkayeni)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed