by

Megawati dan Gibran

Oleh : Muhammad Ilham Fadli

Tentang anak Presiden Republik ini. Tentang “si Pendiam” Megawati hingga “si Pendiam” Gibran Rakabumi. Tentang si ganteng Tommi hingga si gagah AHY. Tentang jilbab Mbak Tutut yang tersohor era 90-an. Tentang Yenni Wahid. Lelaki pintar yang bernama Ilham Habibie dan seterusnya. Hingga tentang Kaesang yang (pernah) ingin “memisangkan” Indonesia. Najwa Shihab-pun terbahak di buatnya.

Bagaimanapun juga, mereka orang yang beruntung. Dari perjalanan hidup mereka tersebut, kita bisa mengambil pelajaran tentang refleksi zaman.

Dalam ilmu politik, terutama berkaitan dengan yang namanya pengaruh, maka diskusi yang paling menarik, dirumuskan dalam pertanyaan “dari mana pengaruh itu berasal ?”. Pengaruh dimaknai sebagai kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan pendapat atau keinginannya. Orang atau sekelompok orang akan berpotensi dipengaruhi oleh seseorang apabila seseorang tersebut memiliki kelebihan. Maka, pengaruh berhubungan erat dengan kelebihan (nilai lebih). Pertanyaan sederhananya, “nilai lebih seseorang tersebut bersumber dari mana sehingga bisa mempengaruhi orang lain ?”.

Secara sederhana, pengaruh yang akan membuat seseorang tersebut memiliki nilai lebih, berasal dari beberapa sumber. Diantaranya : bersumber dari kharisma yang dimiliki. Biasanya bersifat inheren, “hadir” dan bersemayam pada diri seseorang sejak ia lahir. Namun dalam perjalanan hidup seseorang, kharisma ini bisa bersifat fluktuatif. Dinamis. Status berpotensi besar memberikan nilai lebih pada kharisma seseorang.

Lalu ada yang bersumber dari ekonomi. Kemampuan finansial. Tak perlu dijelaskan panjang lebar tentang hal ini. “Hepeng” mampu mengkondisikan pengaruh seseorang terhadap orang atau sekelompok orang. Kontestasi dalam pemilihan umum memperlihat secara gamblang nilai lebih yang bersumber dari ekonomi tersebut.

Selanjutnya, pengaruh juga bersumber dari legal-rasional. Artinya, jabatan atau posisi yang melekat secara legal membuat seseorang memiliki pengaruh. Jokowi “bukan apa-apa”, tanpa jabatan Presiden sekarang ini, jabatan gubernur atau jabatan Walikota pada masa lalu. Pengaruh Jokowi akan ‘hilang” bila jabatan tersebut lepas dari genggamannya. Jabatan rektor di PT, jabatan RW dan Lurah atau sejenisnya, merupakan bentuk lain jenis sumber pengaruh ini. Hilang jabatan, hilang pengaruh. “Mantagi” seseorang tergantung pada jabatannya. Dan seterusnya.

Selanjutnya, ada sumber pengaruh seseorang berasal dari “trah-genetik”. Keturunan. “Anak siapa dia ?” …. “Dari keluarga besar mana ia berasal ?”.

Dalam konteks sosiologi, cara orang memperoleh status sosial tersebut diklasifikasikan atas dua cara, “Achievement” dan “Ascribed”. Dari prestasi, kristalisasi keringat, ikhtiar. Ini yang dinamakan “achievement’. Lalu ada status sosial yang sudah ada karena melekat secara otomatis pada diri seseorang ….. “Ascribed”. Umumnya karena melekat pada orang terdekatnya. Bisa ayah, bisa ibu, bisa istri, bisa suami … bisa pula anak. Berkaitan dengan sumber pengaruh di atas, maka “trah-genetik” adalah contoh

terbaik dari jenis ini. Ketika seseorang menjadi pemimpin negeri ini yang bisa jadi diperolehnya karena prestasinya (achievement), maka orang-orang terdekatnya mendapatkan imbas (pengaruh).

Dan yang selalu menraik untuk dibahas, selain pasangan hidup mereka, biasanya berkaitan dengan anak-anak pemimpin negeri ini. Perjalanan panjang sejarah negara Indonesia yang sudah berumur hampir 78 tahun ini, selalu memperbincangkan anak-anak Presiden.

Demikianlah

Sumber : Status Facebook Muhammad Ilham Fadli

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed