by

MCA Produksi Hoax, Ngaku Bela Ulama

Selain postingan tersebut, barang bukti yang disampaikan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri kepada para wartawan adalah menampilkan cuplikan layar postingan Alul Affandy di grup ‘Muslim Bersatu’ pada 14 Februari 2018.

Alul mengunggah foto tentang seseorang yang tengah ditangkap, lalu menulis: “Mau menganiaya ustad ketangkep lagi tadi, tepatnya di Ponpes AL AMANAH Cililin, Bandung Barat.” Ia melanjutkan dalam teks pengiring foto, “Sekarang semakin gencar pergerakan mereka, tetap waspada, jaga ulama kita!”

Postingan ini memancing emosi akun bernama Irfan Fahrezi: “Siksa aja jangan dikasi polisi makin hari makin jadi aja PKI laknat.” Beberapa akun lain juga ramai-ramai meminta orang yang dianggap PKI yang akan membunuh ulama itu agar disakiti.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Umar Fana, menyatakan bahwa informasi yang beredar di sosial media itu hoaks. Tak ada pemburuan ulama, ujar Umar. Ia menjelaskan bahwa foto itu merujuk seorang dengan gangguan jiwa bernama Marulian Nababan yang tengah kebingungan pulang ke rumah.

Begitu juga dalam kasus Fauzan Fazrudin. Pada 12 Februari 2018, Fauzan memposting foto kotak tempat sanyo di luar rumah terdapat tanda “x” dari cat semprot berwarna merah. Foto ini diberi teks, “Waspadalah apabila terdapat tanda X di masjid atau madrasah, kalau di tahun 1965 tokoh ulama atau imam di masjid itu sedang diintai”.

Brigade Persatuan Islam (Persis) mengatakan bahwa simbol cakra merah di Mesjid Persis Kersamanah itu adalah “tindakan orang iseng” yang ingin memperkeruh suasana. Organisasi Islam itu mengimbau agar jemaahnya tak terpancing provokasi.

Ada pula postingan video amatir dari Putri Nur Aqila. Pada 18 Februari, ia memposting orang dengan gangguan jiwa di grup ‘Muslim Bersatu’ dengan menambahkan keterangan, “Tertangkap basah orang gila dateng ke pengajian bawa pistol. Hati-hati para ustadz ulama harus kita jaga.”

Itu lagi-lagi memancing siar kebencian, salah satunya dari akun bernama Ovie Sofiyanti Bawell:  “Habisi dia setan PKI itu.”

Kabid Humas Polda Jabar, AKBP Hari Suprapto, mengakui memang ada orang dengan gangguan jiwa yang datang ke Ponpes Nurul Anwar, Cimahi, pada 18 Februari 2018. Tapi pistol yang dibawa hanyalah pistol mainan dari plastik, selain membawa minyak misik dan ikat kepala, ujar Anwar.

 

“Divisi Sniper”: Serang Akun FB Lawan secara Berjamaah

Ramdani Saputra, 39 tahun, adalah anggota grup Facebook ‘Suara Rakyat’, ‘Srikandi Muslim Cyber Army’, dan ‘Muslim Cyber Army News Legion’. Ia memiliki akun fanpage Facebook bernama ‘Pojok MCA’.

Ia menjadi admin grup Facebook ‘Sniper Team’. Setelah ramai-ramai penangkapan oleh tim Siber Mabes Polri pada 26 Februari lalu, grup ini bertahap mengubah nama menjadi ‘Laskar Sniper Muslim’, ‘Muslim Sniper Team’, lalu ‘Religion’.

Pada 28 Januari 2018, Ramdani memposting ke grup ‘Suara Rakyat’. Isinya meminta anggota grup mengubah nama grup menjadi ‘Religion’. Tujuannya, “Bahu-membahu merobohkan akun-akun penista agama dan ulama, juga para kecebong!”

Tugas grup ‘Religion’ adalah “mengoordinasi” para anggota untuk melaporkan akun yang jadi lawan mereka kepada server Facebook. Langkah pertama adalah menampung laporan dari anggota atau admin mengenai target akun. Untuk melapor ke Facebook, mereka memerlukan tautan, penjelasan masalah, dan tangkapan layar.

Misalnya pada 25 Februari 2017, akun bernama Ahmad Yani Kopong memposting target. Ia menulis, “Teh dan akang punten…. tolong tenggelamkan akun ini.”

Ia menjelaskan bahwa keluarganya bekerja sebagai tukang kue yang mengeluh harga naik, tapi target dia, “Selalu membela rezim terus. Mohon bantuan Ramdani Saputra dan Doni Setiawan.”

Biasanya akun Facebook yang mereka laporkan adalah orang-orang yang membela pemerintah, orang yang mengkritik Rizieq Shihab, atau orang-orang yang dianggap sebagai teman dari pro-pemerintah—pendeknya, yang dianggap oleh mereka sebagai “cebonger” (lihat Infografik).

Contoh lain saat Ramdani Saputra meminta para anggota grup ‘Religion’ melaporkan secara berjamaah atas akun bernama She Fulanah ke server Facebook.

“Bantu dor, ya,” perintah Ramdani pada 13 Februari 2018 di grup seraya melampirkan tautan akun FB si target.

Alasan yang dikemukakan oleh Ramdani: akun bernama She Fulanah mengkritik Alumni Demo 212 di beranda Facebook dengan menulis, “Kemaren Teriak2 Bela Islam dengan Dengungan Takbir yg Menggelar, eh Tahun Berganti Kecyduk Kasus Korupsi.”

Ramdani memerintahkan agar aksi laporan untuk mencekal akun si target dilakukan tiap jam 1 siang dan 8 malam. Ia meminta semua anggota grup agar bersiap sebelum jadwal tersebut, dengan mengistilahkan momen itu sebagai “War”.

Ramdani menilai dirinya sendiri, serta anggota grup tersebut, sebagai “pejuang pembela kesucian agamaku dan kehormatan ulamaku!”

Ramdani juga menyediakan tutorial melaporkan akun lawan. Biasanya mereka melaporkan atas tuduhan sebagai akun palsu.

“Selalu melakukan solo war dengan hasil 30 sampai 50 akun per hari untuk per orang,” perintahnya dalam grup itu. “Satu akun tumbang sama dengan pahala dari Allah SWT,” sambungnya.

Namun, jika akun rekan mereka yang di-report balik oleh lawan, mereka menyebut akun itu “syahid”. Obsesinya tak jauh-jauh dari mitos jihad.

Untuk menghargai jasa anggotanya, Ramdani menyediakan album khusus di grup ‘Religion’. Isinya dokumentasi khusus untuk akun-akun lawan yang berhasil disegel Facebook.

Ramdani juga meminta anggotanya memperbanyak akun Facebook. Logikanya, jika salah satu akun terkena report, ada akun alternatif untuk terus menjalankan misi.

Selain melaporkan akun target, Ramdani melatih anggotanya untuk bisa mendebat. Meski untuk yang satu ini tak terbukti selain sindiran seperti, “Dasar cebong!”

Apa yang dilakukan oleh Ramdani dan anggota grup MCA sangat mungkin susah dibendung, menurut Aribowo Sasmito, Ketua Komite Fact Checker Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).

“Untuk menghapus akun seseorang, kita cukup dengan bantuan sekitar 80 akun,” tambahnya

Langkah menguntungkan lain bagi Ramdani dan kelompoknya, begitupun sebaliknya: Facebook memakai mesin, bukan manusia, ketika menangani gelombang laporan tersebut. Untuk menghidupkan kembali akun tersebut, orang bersangkutan harus meminta semacam banding ke server Facebook.

“Cara mengantisipasi hal itu ada, misalnya dengan verifikasi identitas, tapi hal ini tetap tak akan maksimal,” ujar Aribowo.

Begitu juga soal produksi sampah massal yang dibagikan oleh akun-akun yang terafiliasi dengan grup-grup Muslim Cyber Army.

Aribowo dan rekan-rekannya berupaya melakukan fact-checking atas hoaks yang beredar deras di sosial media. Tapi, ia bilang, kelemahannya adalah “kalah kuat” dengan gelombang hoaks.

“Ada hoax yang tingkat share 10.000 kali, tapi klarifikasi atas hoax tersebut mendapatkan share 1.000 saja itu untung-untungan,” katanya.

Salah satu cara memberangus kabar palsu dan hoaks ini, menurut Aribowo, adalah warga Indonesia sejak dini dikenalkan bahwa negara ini majemuk.

Ross Tapsell, peneliti media dalam opininya di Tirto, juga menyarankan salah satu cara menangkal hoaks adalah dengan mendorong pemerintah untuk kembali memprioritaskan pendidikan teknologi informasi dan komunikasi serta literasi digital ke dalam kurikulum nasional.

“Alih-alih meningkatkan kekuatan pasukan siber, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus memperkuat sumber-sumber informasi yang independen dan tepercaya. Ini solusi yang lebih baik untuk mengatasi masalah-masalah yang menjangkiti masyarakat informasi di Indonesia,” tulis Tapsell.

Sumber : tirto.id

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed