by

Mbah Maimoen Zubair

“Kamu tahu anugerah terbaik dari Allah yang diberikan untuk Indonesia, bahkan dunia?” sergap Gus Yahya.
“Kandungan minyak, gas, dan pegunungan emas?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Mbah Maimoen Zubair!”
Saya terdiam, menunggu penjelasan.

“Mbah Moen itu sealim-alimnya orang nusantara, bahkan dunia!”
Saya haqqul yaqin Mbah Moen sayang Indonesia, dengan segenap warga yang berada di sana. Untuk hal kecil saja beliau begitu memperhatikan, bagaimana dengan perkara besar seperti segenap tumpah darah Indonesia?

Kenang saya yang pernah nyantri kepada beliau di Al-Anwar, kami dilarang memakai peci berwarna putih. Dulu, ketika bertemu santrinya yang memakai peci putih, beliau mengajukan “gugatan”:
“Apa kamu sudah haji, Cung?”
“Belum.”
Mbah Moen seketika marah, dan sejak itu mengharamkan pemakaian peci putih untuk seluruh santrinya.

“Orang-orang kampung pergi ke Tanah Suci sampai menjual sapi, kerbau, kambing, dan tanah,” jelas Mbah Moen, “sementara kamu tanpa beban memakai peci putih, seperti orang yang sudah berhaji saja, padahal harganya cuma lima ribu rupiah.”

Mbah Moen tidak berkenan jika santri-santrinya melukai hati orang, bahkan dalam simbol paling murah dan sederhana seperti peci. Melukai hati itu haram. Oleh karena itu, jika sejengkal pun kakimu belum menginjak Tanah Suci tapi sudah berani memakai peci putih, maka itu adalah keharaman yang sama.
Mbah Moen selalu menjelaskan bahwa kehormatan bagi umat muslim adalah dapat menghembuskan napas terakhirnya di Tanah Suci, dan Mbah kerap meminta doa agar dipanggil Allah pada hari Selasa.

Mbah Moen menghembuskan napas terakhirnya dalam keadaan beribadah haji, pada hari Selasa, dan akan dimakamkan bersama orang-orang alim, di antara mereka adalah guru-gurunya: Sayid Alawy Al-Maliki, Sayid Muhammad Alawy Al-Maliki, dan Habib Salim Al-Syathiri.

Sumber : Status Facebook Rumail Abbas 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed