by

Masuk Neraka Tak Semudah Minum Kopi Starbuck

Kopi Aroma Nerakawi?

Namun, hari hari terakhir ini, timeline media sosialku ramai dengan sebuah video ceramah ustaz Abdul Somad yang sedang viral. Beliau menyinggung soal pembeli kopi di Starbucks “akan” masuk neraka. Alasannya, karena sebagian keuntungan Starbucks dipergunakan untuk mendukung kelompok LGBT, yang notabene dianggap perilaku menyimpang dalam Agama.

Olehnya itu, tulisan ini menjadi semacam pledoi atau nota pembelaan, dari seorang yang khawatir akan masuk neraka sebelum waktunya. Walaupun saya sendiri tak pernah membeli kopi di Starbucks, sebab seingatku setiap duduk di kedai ini, saya selalu membeli teh hijau (green tea).

Saya tidak akan berbantah-bantahan tentang apakah pembeli kopi Starbucks masuk neraka, surga, atau berada di antara keduanya (baina al-manzilatain). Sebab keyakinan saya tentang masuk surga dan neraka adalah mutlak hak prerogatif Tuhan.

Belajar dari syair Ilahi Lastu lil Firdausi Ahla (Wahai Tuhanku, Aku Bukanlah Ahli Surga) yang begitu syahdu dari Abu Nawas, membuatku menemukan, setidaknya satu sifat jabariyah dalam diriku, kepasrahan akan menerima surga atau neraka setelah mati. Juga belajar dari sebuah kisah shahih yang dituturkan dalam kitab Shahih Bukhari tentang seorang perempuan yang mengabdikan dirinya sebagai pelacur, suatu waktu ia memberi minum pada seekor anjing yang (hampir mati) kehausan, dan perbuatannya itu menjadikannya masuk surga. 

Pada titik inilah, saya memahami, bahwa masuk neraka juga adalah perkara susah, tak semudah membeli segelas kopi di Starbucks. Meski sepanjang hidup diabdikan untuk hal buruk yang akan diganjar neraka sebagai balasannya, namun satu kebaikan saja akan menghapuskan seluruh keburukan dan membuatnya masuk surga.

Kapitalisme Surgawi

Kembali ke paragraf awal, kedamaian apa yang dibawa Starbucks? Bahasan ini memosikan Starbucks sebagai tidak hanya sebuah brand kedai kopi, tapi sebagai ikon kapitalisme global, yang sedang berjalan di atas hamparan hijau globalisasi.

Hal serupa ini sudah banyak dianalis. Misalnya saja oleh George Ritzer yang membahas McDonaldisasi, bukan hanya bicara soal kultur makan orang Amerika yang berubah, tapi juga soal bagaimana McDonald menjadi ikon dominasi sebuah ideologi dunia yang merambah memasuki celah-celah sempit kultur dan peradaban sebuah masyarakat negara, tentu dengan berbagai penyesuaiannya.

Temuan menarik, misalnya dari Thomas L. Friedman mengungkapkan teori busur emas (golden arches theory) yang menyatakan bahwa tidak ada perang yang terjadi antara dua negara yang masing-masing memiliki McDonalds di dalamnya. Teori ini sebenarnya juga menjadi teori pencegahan konflik—dan memang lebih dikenal demikian—yang menyatakan bahwa ketika sebuah negara memiliki tingkat perekonomian yang berkembang.

Hal tersebut ditandai dengan kenaikan jumlah kelas menengah yang mendukung jaringan bisnis McDonald berdiri di negara tersebut. Maka, masyarakat negara tersebut tidak lagi menyukai perang, dan lebih senang untuk mengantri membeli burger.

Sampai sejauh ini, teori tersebut masih berlaku. Setidaknya, sejak terbentuknya dunia baru, ketika tembok Berlin runtuh pada 1989, yang juga meruntuhkan komunisme dan membangkitkan kapitalisme global.

Sejak itu, hubungan-hubungan antar negara berada dalam lingkar kepentingan, dengan ekonomi dan perdagangan sebagai motif utamanya. Fenomena ini yang yang disebut juga Friedman sebagai globalisasi 0.2, di mana keterjalinan antarnegara dimotori oleh pasar.  

Masih mengutip dari Friedman, Montesquieu, filsuf abad 18, menuliskan dalam bukunya The Spirit of the Law, bahwa “kebahagian manusia terletak pada keadaan di mana nafsu mereka mendorongnya untuk menjadi jahat. Namun, kepentingannya menjadikan mereka menjadi penyayang dan berbudi luhur.” 

Akhir kalam, jika kita ingin ke surga untuk mencari perdamaian, maka nikmatilah kehidupan di abad yang kapitalis ini. Sebab, satu-satunya yang menarik dan bermanfaat yang ditawarkan hamparan hijau kapitalisme adalah kita terkunci dalam satu kewajiban untuk mengakhiri perang, dan berdamai satu sama lain, walaupun atas dasar kepentingan. Pada titik itulah saya berterima kasih kepada kapitalisme, juga pada Starbucks. Wallahu a’lam.

Sumber : qureta

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed