by

Masih Soal Afi, Plagiasi?

 

Atas dasar apa kita membully, atau menghakimi, Afi Nihaya plagiator? Tahu berapa jumlah tulisannya, berapa yang jiplakan? Bisa menunjuk data empiris dan analisa akademiknya? Hadeh, di medsos membawa kata-kata ngilmiah gini? Tulisan ini akan lebih merupakan otokritik, terutama kaitannya dengan “diri saya”.

Di Senayan, saya kerap temui orang kaya, anggota parlemen, memiliki gadget mahal dan canggih. Tapi saya temui pula banyak yang gaptek. Para orangtua jadul, generasi analog. Gadget canggih lebih banyak untuk komunikasi sebagaimana handhone jadul. Fasilitas canggih yang bisa mereka pakai paling cuma video-call, selebihnya sms dan wa.

Para aktivis medsos kelahiran 50, 60, 70, sebenarnya sudah masuk generasi jadul dalam revolusi teknologi informatika ini. Mungkin memakai gadget dan segala macam berbau digital, tetapi pola fikir, sikap dan perilaku, masih analog.

Punya banyak akun seperti email, linked-in, two, facebook, twitter, path, whatsApp, Instagram, dan segala macam, tapi mungkin hanya whatsapp dan Instagram yang dioperasikan. Lainnya lupa password, karena jarang dipakai.

Sementara generasi Afi Nihaya bukanlah generasi alay. Betapapun ia dari desa, dengan keterbatasan ekonomi, ia sangat canggih. Akun facebooknya di-set for public, tanpa tedeng aling-aling. Siapa pun bisa mengaksesnya, tentu juga membullynya, meski tidak kenal, tidak terhubung. Dan sangat mungkin tidak membaca tulisannya, apalagi memahami. Itu khas generasi analog. Tak mendengar apalagi melihat langsung, tapi langsung saja ngrasani, ngegosip, dan menghujat.

Akun facebook Afi diikuti ratusan ribu orang. Tulisannya di-like ratusan ribu orang, bahkan kadang mencapai setengah juta lebih. Di-share ratusan ribu pembacanya. Anehnya, mendapat banyak komentar negative, hujatan dan maki-maki dari sebagian nama-nama yang tak ada dalam friend-list-nya. Sementara berapa pembaca akun saya?

Generasi analog, seperti saya misalnya, menset facebook hanya untuk teman/friend saja. Sudah males dengan percekcokan tak jelas juntrungnya, kecuali rela sebagai bak sampah. Tapi di wall facebook Afi, para pembenci lalu-lalang, bebas menuliskan komentar, dan dibiarkan oleh Afi.

Orang-orang yang menyerang Afi dari sisi plagiarisme, plagiasi, saya kira memang datang dari (1) generasi jadul, setidaknya dalam sikap, perilaku, dan cara berfikir. Mereka tidak akan ngerti bagaimana generasi Afi hidup dalam keserentakan, di dalam akselerasi bukan saja dalam mereplikasi dan menduplikasi, melainkan juga dalam multiplikasi, kultur jaringan. (2) kelompok bumi datar, yang kelihatannya sedang membela-bela agama, tetapi senyampang itu sesungguhnya sedang menghina-hina agamanya sendiri. Cuma bahasanya saja lamis, soal plagiasi.

Ini adalah abad di mana tumbuh generasi multi-focus, tetapi masing-masing focus adalah sama-sama 100%. Bukan lagi jaman 100% dibagi banyaknya focus perhatiannya. Dan kita masih ngomong soal orisinalitas? Plagiasi? Medsos itu dumay, dengan karakter dan hukum medianya yang tersendiri. Kita tak sedang ngomongin tesis atau disertasi.

Tulisan-tulisan Afi Nihaya cermin pikiran yang cerdas. Diksinya kuat, lugas, dan tampak seorang pembelajar serta pembaca buku yang baik. Tatabahasa dan ejaannya tidak alay dan lebay. Ia terdidik. Tak mudah untuk menjadi demikian, kecuali telah berlatih bertahun-tahun. Apa yang saya lakukan sepanjang hayat, sangat mungkin diringkas Afi hanya dalam beberapa tahun saja.

Pada para pemuja orisinalitas, juga copy-right, perlu juga tahu soal otentisitas dan copy-left, ketika dekonstruksi dan post-truth merambah. Baca lagi Jean Baudrillard, dalam perdebatan makna dan realita. Bagaimana melihat realitas kontemporer dan merefleksikan masa depan, dengan memberi peringatan dini tentang yang akan terjadi.

Globalisasi menyebabkan masyarakat perkotaan menjadi satu model yang berperilaku ‘seragam’, tulis Baudrillard. Keseragaman disebabkan pengaruh media yang berperan dalam penyebaran tanda-tanda. Hingga terjadi pergeseran pola pikir dan logika konsumsi masyarakat. Bukan lagi use value atau exchange value, melainkan apa yang disebut symbolic value. Bukan lagi berdasarkan nilai tukar atau guna, melainkan nilai tanda yang abstrak tapi terkonstruksi.

Jika pembullyan Afi datang dari bumi datar, itu wajar, karena diksi Afi tentang toleransi dan intoleransi lugas dan jelas keberpihakannya. Tapi kalau penghakiman soal plagiasi Afi, oleh mereka yang bergerak di dunia kreatif dan komunikasi (apalagi sosiologi dan filsafat, tetapi dari generasi analog), sungguh menyedihkan.

Pernah saya tulis ulang tulisan Shailesh S. Mody, soal Revolusi Industri ke-4 dan Era Exponential di wall ini. Sempat baca? Uber menjadi perusahaan transportasi terkaya di dunia, padahal tak punya armada. Airbnb menjadi perusahaan perhotelan terbesar di dunia, padahal sama sekali tak memiliki properti apapun. Kok bisa?

Gini saja deh, tahu Asrofi? Pemuda asal Kebumen yang jadi viral, karena mencari pekerjaan via JPO? Diunggah lewat twitter dan kemudian menjadi viral? Gayanya mirip video Amanda Todd, hanya bukan dengan flash-card, melainkan memajang fotonya dengan secarik kertas di tangan, bertuliskan nama dan maksud tujuannya. Dan dia kebanjiran tawaran.

Salahnya kok salah membaca fenomena Afi, termasuk para penasihat politik Jokowi, yang mungkin saja terpesona teori-teori Jean Baudrillard, tapi luput memaknai simbol. Senyampang itu, salah kaum bumi datar juga, yang luput membaca tanda-tanda karena involusi peradabannya. Jadilah jadul-dul semuanya.

Afi Nihaya itu fenomena biasa, kalau kita rajin membaca. Tapi karena malas belajar kita mudah tersepona, atau kalau tidak marah-marah, cemboker. Ini jaman aplikasi, dan kita masih saja di dalam simplifikasi otak. Plagiasi? Emang situ aseli?

 

(Sumber: Facebook Sunardian W)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed