by

Masih Ada Waktu Keluar dari Jalan Buntu

2

Konsekuensi poin satu: Dengan demikian, jika orang tak percaya demokrasi dan hak asasi manusia, mereka sah punya visi tentang khilafah yang anti demokrasi dan anti hak asasi manusia. Lembaga apakah di kalangan umat ataupun ulama sendiri yang bisa menengahi pertentangan ini? Sementara ini tak kelihatan, selain pertarungan. Pertarungan yang baik adalah pertarungan ide.

Sayangnya, kaum intoleran menggunakan kekerasan untuk menghentikan adu gagasan. Kami mengalami sendiri bagaimana FPI mencoba menyerang kantor Jaringan Islam Liberal di Utan Kayu dan membubarkan diskusi feminis Irshad Manji di Salihara. Maka, di tengah ketiadaan lembaga penengah, tiada perlindungan atas adu ide, yang tersisa adalah pertarungan fisik dan kekerasan yang sesungguhnya. Jalan buntu, kalau bukan jalan kekerasan.

3

Maka, marilah kita keluar dari jalan buntu. Lembaga penengah sebenarnya ada. Dialah Indonesia tercinta. NKRI. Betapapun kita bosan mengulangi kata ini sejak SD, mungkin ini saatnya meresapi. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah wadah dalam peta dunia, dalam semangat persatuan, dengan bentuk republik (artinya demokratis), bagi Indonesia yang beragam suku dan agama.

Keindonesiaanlah yang seharusnya bisa melindungi agar pertarungan ide tidak diserobot jadi intimidasi. Dialah yang bisa menengahi adu gagasan antara kaum toleran dan intoleran, kaum liberal vs konservatif, dan lain-lain. Dan dialah yang bisa membuat saya, kita, tidak hanya duduk sebagai penonton atau calon terdakwa di hadapan dalil agama.

Wahai, bukan cuma minoritas Kristen, Tionghoa, Ahmadiyah, Syi’ah yang menjadi calon korban sistem intoleran, tapi juga umat Muslim yang diberi stigma munafik dan murtad. Maka, bangkitlah, kembali pada keindonesiaan!

4

Gagasan Indonesia memang sedang digerogoti sekarang ini. Ada tiga hal utama yang menggerogotinya. Yang pertama adalah ketidakpedulian. Yang kedua, sikap kritis dan skeptis yang berlebihan. Yang ketiga, radikalisme. Ketidakpedulian biasanya menghinggapi mereka yang pragmatis dan hanya mencari kemapanan diri. Sejauh mereka hidup nyaman, persetan dengan Indonesia.

Sikap kritis dan skeptis berlebihan banyak di kalangan intelektual dan aktivis. Sementara itu, radikalisme Islam, sudah banyak dibicarakan, juga merasuk lewat pendidikan. (Sekadar contoh: Tribunnews: Penyebaran Paham Radikal di Kampus) Masih ada waktu dan modal untuk mempertahankan keindonesiaan. Berikut beberapa jalan.

5

Wahai para seniman dan pekerja industri kreatif, buatlah kampanye “Indonesia Keren”. Yakinkan generasi muda bahwa bangsa ini hebat dan mampu menawarkan jalan kebhinekaan kepada dunia. Berilah mereka harapan agar tidak larut memikirkan (lalu mendatangkan) kiamat.

Wahai para intelektual dan aktivis, teruslah kritis tetapi tawarkanlah jalan yang realistis. Jangan hanya marah dan nyinyir, berilah alternatif. Dan orang-orang beriman, berhati-hatilah agar agama tidak dijadikan jalan penyebar kebencian. Lalu, tentu saja, kita harus terus melakukan pekerjaan lama: merawat demokrasi, menghilangkan korupsi, dan lain-lain.

***

Teman saya, seorang Muslim, begitu sedih dan geram ketika hakim menghukum Ahok. Ia bilang, “Pokoknya, sekarang aku mau anjurkan teman-teman non Muslim untuk menggugat pakai pasal penistaan agama juga.” Saya anggap ini spontanitas rasa kesal saja. Kami tidak percaya “mata ganti mata, gigi ganti gigi”—apalagi jika pasti gagal.

Di Indonesia, pasal penistaan hanya berhasil jika yang marah mayoritas. Tapi, ada banyak orang seperti dia, yang percaya demokrasi, hak asasi manusia; seraya membiarkan guru agama anak-anaknya mengajarkan yang bertentangan. Daripada menyuruh orang lain balas dendam, lebih baik melihat ke dalam lalu bertindak bersama-sama. Kita bisa belajar dari Musdah Mulia, yang tak diam ketika tahu anaknya diajar oleh guru agama agar tidak berteman dengan orang Kristen. Ia mengadukan masalah itu ke kepala sekolah.

Kasus Ahok adalah cambuk keras. Alarm bahwa keindonesiaan sudah digerogoti. Strategi ini akan dipakai dalam pemilu daerah maupun nasional. Korban berikutnya bukan hanya Kristen, Cina, Ahmadiyah, Syiah, liberal, nusantara, LGBT; tapi siapapun yang akan diberi stigma kafir, murtad, munafik, sesat. Korbannya adalah keindonesiaan itu sendiri.

Masih ada waktu dan modal untuk keluar dari jalan buntu. Mari bangkit dari ketidakpedulian, skeptisisme. Selamatkan Indonesia dan jadikan bangsa kita keren!**

Sumber : qureta

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed