by

Mario Teguh dan Ironi Masyarakat Urban

Oleh : Bambang Priyo Jatmiko

Tuhan,
perpanjanglah daya tahanku untuk memikul beban kehidupan ini, jauhkanlah aku dari rasa putus asa, bantulah aku menemukan sumber rezeki yang besar dan lancar.

Tuhan, aku sudah rindu sejahtera.
Mohon sejahterakanlah aku.

Aamiin.

(Mario Teguh)

Status doa yang terpampang pada timeline Facebook motivator kondang itu memang terasa sangat mewakili kondisi keseharian kaum urban, yang selalu dihadapkan pada persoalan karier, cinta, cita-cita, jati diri, hingga masalah spiritual.

Adalah kaum urban, yang selalu berusaha mencari makna hidup di tengah hubungan fungsional yang tercipta dari rutinitas harian yang dihadapi.

Tekanan pekerjaan sehari-hari ditambah dengan tuntutan untuk tetap survive di tengah ketatnya persaingan, membuat sebagian besar kaum urban merasa terasing.

Kerja berangkat pagi, pulang larut malam. Tidur beberapa jam, berangkat kerja lagi ke tempat kerja, membuat sebagian besar masyarakat urban merasa dirinya sebagai mesin. Mekanis. Tak ada kesempatan untuk menikmati dan memaknai hidup.

Mereka juga merasa kesepian di tengah hiruk pikuk kota. Merasa tak berharga meskipun gaji selangit. Hidup terasa stagnan.

Karenanya tak heran banyak orang kota yang menjadi super sensitif, gampang marah, mudah tersinggung, baper, hilang motivasi, yang ujung-ujungnya membuat mereka merasa tak bahagia.

Industrialisasi dan urbanisasi telah membuat masyarakat urban kehilangan nilai-nilai tradisional, seperti kekeluargaan, kebersamaan, cinta, religiusitas dan sebagainya, yang sebelumnya dipegang.

Individualisme telah meluruhkan ikatan sosial dan kultural, yang mendorong mereka berusaha melakukan pencarian nilai-nilai yang hilang itu.

Ironi inilah yang pada akhirnya membuat masyarakat urban mencari “pelarian” yang memungkinkan mereka bisa lepas dari beragam masalah yang mereka hadapi tiap hari, meski sifatnya hanya sesaat. 

Bagi pelaku industri, kegetiran yang dirasakan masyarakat urban adalah sebuah peluang yang menjanjikan. Kondisi di mana ceruk pasar terbuka lebar yang siap dieksploitasi menjadi pundi-pundi keuntungan.

Industri motivasi

Bukan industri namanya, jika tak mampu mengubah masalah menjadi peluang. Ya, industri yang dimaksud adalah “industri motivasi”, yang dijalankan oleh para motivator.

Dengan produknya berupa ceramah dan pelatihan motivasi yang disampaikan melalui berbagai media seperti talkshow, seminar, pelatihan, buku, hingga paket wisata, mereka hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat urban yang tengah dilanda oleh masalah-masalah psikologis.

Produk-produk industri motivasi tersebut juga dibungkus dengan berbagai pendekatan untuk menyasar segmen yang bervariasi.

Ada yang dibalut dengan pendekatan sekuler seperti dengan memfokuskan pada pentingnya cinta dan ikatan-ikatan keluarga, hingga menitikberatkan pada pentingnya aspek religiusitas. Ada juga yang menawarkan pendekatan dengan mengambil jalan tengah di antara keduanya.

Semua itu muaranya sama: kebutuhan psikologis masyarakat urban tercukupi. Sementara di sisi lain kegiatan akumulasi modal oleh industri motivasi, berjalan. Selama ada masyarakat urban, industri motivasi akan terus mendapatkan pasar.

Coba lihat, betapa tinggi rating dari tayangan-tayangan motivasi yang dilakukan oleh para motivator papan atas. Selain acara on air, kegiatan off air juga berhasil meraup banyak sekali peserta, hingga penyelenggaraan pelatihan digelar puluhan kali batch.

Tingginya minat atas pelatihan maupun talkshow tersebut merupakan bukti bahwa industri motivasi juga sangat paham mengenai jenis produk yang paling digemari masyarakat urban.

Sebagaimana diketahui, kelompok masyarakat ini selalu ingin mewujudkan segala sesuatu secara cepat dan tidak mau letih dalam berproses. Pekerjaan dan rutinitas harian telah menyita sebagian besar energinya.

Proses panjang menemukan kebahagiaan dengan melakoni kehidupan secara utuh dan seimbang, hampir mustahil dilakukan. Waktu terlalu berharga untuk dipakai hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Selain itu, jalan panjang dan terjal untuk mencapai kematangan spiritual juga tak mungkin dilakoni. Lagi-lagi, hal ini terbentur pada terbatasnya waktu.

Karena itu, produk-produk yang berupa solusi instan sangatlah tepat untuk menjawab kondisi tersebut. Kata-kata motivasi yang mampu mendamaikan pikiran serta mengurai kekusutan di kepala, menjadi begitu populer.

Berdamailah dengan masa lalumu.

Cinta tidak pernah salah. Yang salah adalah cara kita memilih kekasih, atau cara yang salah dalam memperlakukan kekasih,” adalah contoh beberapa kalimat dari motivator kelas atas, Mario Teguh yang begitu populer, utamanya bagi masyarakat urban.

Belum lagi, status di Facebook dari sang motivator yang dikutip di awal tulisan ini. Dalam waktu 4 jam setelah tulisan tersebut diposting berhasil menuai 15.300 like dan telah di-share sekitar 1.500 kali.

Di luar itu, masih banyak industri motivasi lain yang mengandalkan produk yang kurang lebih sama untuk menggaet pasar masyarakat urban, dengan pendekatan yang mungkin agak berbeda.

Hanya sebatas industri

Tumbuhnya industri motivasi di Indonesia dimotori oleh mereka yang sebelumnya bekerja sebagai profesional, seperti para CEO dan satu-dua level di bawahnya.

Selain itu, bangkitnya industri motivasi ini juga diinisiasi oleh mereka yang pernah berkecimpung di dunia bisnis, baik mereka yang berhasil maupun yang gagal.

Rata-rata dari pelaku industri ini memiliki kemampuan public speaking yang excellent dan penampilan yang meyakinkan. Mereka juga melakukan self branding untuk menyasar segmen yang dibidiknya.

Para motivator kelas atas gaya bicaranya tak meledak-ledak, namun mengalir, tegas, dan sangat paham kapan harus memberi penekanan pada materi yang disampaikannya.

Saking mantapnya, tak sedikit yang memosisikan mereka tak sekedar sebagai motivator. Lebih dari itu, mereka adalah idola yang setiap perkataannya bagai sebuah sabda yang penting untuk dijalankan.

Mereka rata-rata juga punya asisten yang hampir setiap hari mendampingi ke manapun sang motivator memberikan pelatihan. Tingginya intensitas interaksi dengan motivator, membuat si asisten paham seluk beluk industri ini.

Sehingga tak jarang para asisten ini kemudian mendirikan perusahaan baru di bidang yang sama. Mereka menawarkan tarif yang lebih kompetitif, namun dengan materi yang kurang lebih sama dengan motivator kondang.

Begitulah ranah bisnis ini berkembang, hingga membuat industri motivasi cukup bergeliat di Indonesia.

Kelebihan industri motivasi ini adalah mereka mampu memosisikan diri layaknya lembaga tradisional (seperti keluarga, gerakan keagamaan/spiritual, dsb) yang menjadi rujukan atas nilai-nilai yang dicari oleh masyarakat urban.

Kemampuan meyakinkan orang lain yang ditunjang dengan kalimat-kalimat puitis, membuat kaum urban lupa bahwa para motivator itu adalah pelaku industri yang tumbuh karena ada permintaan. Ada hukum ekonomi di balik munculnya para motivator ini.

Meski jelas-jelas ini adalah industri, terkadang masyarakat urban tak mampu membedakan mana lembaga tradisional dan mana industri.

Karena kaburnya batas-batas tersebut, ekspektasi masyarakat urban terhadap pelaku industri motivasi terlampau tinggi. Bahwa apapun yang dilakukan oleh motivator, haruslah sama seperti yang diucapkannya saat memberi ceramah.

Padahal, itu semua salah kaprah…

Seperti seorang penjual kopi enak yang didatangi ratusan pelanggan tiap harinya. Belum tentu si pedagang kopi suka minuman tersebut. Bisa saja asam lambung si pedagang akan kumat ketika dia menyeruput kopi.

Lainnya, penjual tongseng kambing tidak wajib untuk menyukai masakan yang dia bikin sendiri. Karena, jika dia makan makanan tersebut, kolesterolnya akan naik. Tapi karena pembeli senang dengan masakannya, dia terus membuat tongseng.

Di sinilah posisi konsumen. Dia berhak mendapatkan sesuatu dari produsen untuk memenuhi kebutuhannya. Konsumen berhak puas. Namun demikian, konsumen tak berhak untuk memaksa si penjual menyenangi barang-barang yang dijualnya.

Begitulah analogi sederhananya. Karena itu, sungguh bukanlah hak saya, Anda, maupun masyarakat urban lainnya untuk menuntut para motivator berperilaku seperti apa yang disampaikannya dalam ceramah, talkshow, serta yang ditulisnya dalam buku.

Bagaimanapun, semua yang disampaikan para motivator pada dasarnya adalah komoditas yang diproduksi untuk memenuhi permintaan pasar.

Karena hanya komoditas, nikmatilah hingga puas apa yang disampaikan, tanpa harus terbebani dengan menuntut mereka melakukan hal yang sama dengan yang diucapkannya.

Salam super!**

Sumber : kompas.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed