by

Mandalika

Oleh: Goenawan Mohamad
 

Hidup sama sekali tak mudah bagi Maryam-dan agama tak menolongnya. Bahkan sebaliknya. Dalam hidup tokoh novel Okky Madasari ini, agama menghimpun tiga anasir represif terhadap hidupnya: orang tua yang menekan anak-anaknya, laki-laki yang diutamakan di atas perempuan, dan doktrin yang membuat orang-orang terikat dan kemudian bermusuhan. Di bawah tekanan semua itu, kebaikan menjauh.

Maryam mencoba melawan itu-dengan setengah diam.

Menjelang akhir novel (“Maret 2006”), seorang bayi perempuan lahir. Maryam dan suaminya yang baru, Umar, penuh harap. Mereka menamai anak itu “Mandalika”-nama yang diambil dari legenda lokal. Bukan nama Arab, kata Maryam. Bukan seperti ayah dan ibunya.

Bagi Maryam, itu langkah awal sekaligus paling mudah untuk menjauhkan anaknya dari segala kepedihan yang dialami keluarganya. “Biarlah anak ini jauh dari agama tapi dekat dengan kebaikan,” katanya, berulang kali.

“Jauh dari agama tapi dekat dengan kebaikan”-agaknya ini ungkapan penampikan yang bisa membuat orang terenyak (tapi tak terelakkan) dan membuat novel Maryam unik dalam karya sastra Indonesia terakhir, di masa ketika agama, khususnya Islam, hadir kuat di mana-mana. 

Maryam lahir dan dibesarkan di Desa Gerupuk, di pantai selatan Lombok. Ia generasi ketiga pengikut Ahmadiyah. Mula-mula Komunitas Ahmadi hidup berdampingan dengan penduduk muslim yang lain. Tapi bukannya tanpa ketegangan-dan sebagaimana dikisahkan novel ini, ada ketegangan membisu yang merayap ke dalam hidup Maryam. 

Sebagaimana dalam komunitas iman yang lain, di sini juga para penganut membentuk lingkaran tertutup, dengan tembok yang mudah mengeras. Sejak remaja Maryam berusaha hidup dalam lingkaran itu dengan tertib, atau lebih tepat: dengan ketakutan. Terutama dalam berhubungan dengan laki-laki: ketika cinta tumbuh antara orang Ahmadi dan bukan Ahmadi, hubungan lebih jauh akan terancam. Komunitas di kedua pihak akan merintangi itu, dan konflik terjadi.

Maryam ikut menanggungkannya.

Ia jatuh cinta kepada Gamal, sesama Ahmadi, tapi gagal: Gamal membelot dari keyakinan keluarganya. Maryam pindah ke Jakarta, bekerja di sebuah bank. Ia bertemu dengan Alam, yang bukan penganut Ahmadi. Mereka saling jatuh cinta dan siap menikah, tapi calon mertuanya berkata: “Suami adalah imam seorang isteri. Ketika sudah menikah nanti, isteri harus mengikuti suaminya, menuruti suaminya, apalagi dalam soal beragama.” Sebaliknya ibu Maryam bertanya kepada Alam: “Apa itu berarti Nak Alam sudah siap menjadi seorang Ahmadi?”

Orang-orang tua melindungi, tapi juga menguasai dan menekan anak-anak mereka. Orang-orang tua dilindungi ajaran mereka, tapi sebenarnya dikuasai sepenuhnya. 

Maryam, mungkin karena ia seorang perempuan, merasakan tekanan yang lebih-maka lebih pula resistansinya. Ia letakkan pikirannya dalam semacam isolasi. Ia mencoba lupa. Kadang-kadang ia berpikir, “Ia hanya Ahmadi ketika sedang berada di tengah-tengah pengajian Ahmadi.” 

Tapi pernikahan Alam dan Maryam tak sampai berumur lima tahun. Mereka tak kunjung punya anak. Orang tua Alam mendesak, dan dalam keadaan kesal, Maryam merasa bahwa orang tua itu menyalahkannya karena ia pernah “sesat”. Ia pun meninggalkan Alam, dan kembali ke Lombok, ke keluarganya sendiri.

“Sesat” adalah kata yang ganas. Itu pula yang menyebabkan masyarakat Islam di Gerupuk, yang menganggap Ahmadiyah “sesat”, pada suatu hari-setelah mendengar khotbah yang dulu tak pernah mereka dengar-mengusir tetangga mereka. Mereka melempar batu ke genting dan kaca jendela orang Ahmadi, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Akhirnya 17 rumah dibakar, dengan ultimatum: kaum Ahmadi harus meninggalkan iman mereka atau hengkang.

Keluarga Maryam terusir. Bahkan ketika ayahnya meninggal karena kecelakaan lalu lintas, ia tak boleh dimakamkan di desanya sendiri.

Apa yang dibawa agama: kebaikan? Atau ganasnya kata “sesat”? Apa yang dibawa iman bersama: ketenangan? Atau desakan yang menghilangkan kebebasan memilih?

Maryam kembali ke komunitas Ahmadiyah yang harus hidup di pengungsian. Ia memprotes pejabat Negara yang tak melindungi orang-orang yang dianiaya itu, yang selama enam tahun terpaksa menempati kamar-kamar sempit di Gedung Transito. “Kami hanya ingin pulang¦.”

Dalam arti tertentu, Maryam pulang: dari lupanya akan asal-usul. Tapi ia tak kembali. Ia diam-diam merestui adiknya, Fatimah, meninggalkan komunitasnya untuk menikah dengan “orang luar”. Dengan demikian, ia mengatasi demarkasi yang bernama agama, sambil menunggu kelahiran Mandalika.

Mandalika, dalam legenda Lombok Selatan itu, putri raja yang mengorbankan diri untuk mencegah permusuhan. Ia, yang diperebutkan, menenggelamkan diri di laut. Tapi, kata sahibulhikayat, ia datang kembali setahun sekali saat purnama, dalam wujud cacing-cacing-hewan yang dianggap menjijikkan-untuk menyuburkan tanah. Tanah siapa saja. 

 

(Sumber: Tempo.co)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed