by

Makhluk Segala Simbol

Mari berandai-andai, jika Jean Baudrillard yg punya konsep keren; simulasi, simulakra, dan hiperrealitas itu pernah mampir ke Plawikan-Klaten dan sempat diskusi dengan saya, dia akan merubah teorinya itu. Bahwa di Jawa, konsep itu sudah jauh ada pada zaman pra Islam, bukan melulu di zaman Industrial yg berkembag budaya konsumen.

Pun demikian dengan konsep Post-Truth dari Ralph Keyes, akan direvisi sedikit setelah diskusi dengan saya dan mampir beberapa hari di Somodaran-Kalasan. Mungkin ia akan mengatakan bahwa era Pasca Kebenaran itu, di Jawa sudah ada sejak nenek moyang, bahkan jauh hari sebelum Deandeles bekerja keras menghubungkan pusat-pusat ekonomi di pedesaan Jawa dengan membangun jalan tol. Sehingga Post-Truth di Jawa bukan dominan di era informasi pos-industrial.

Namun Jawa juga selalu unik, sifat simbolis atau yg samar itu juga tidak melulu ada pada diri setiap orang. Satu dari lima Pandhawa, yaitu werkudara bukanlah orang yang suka bermain simbol, dan itu menurun pada cucunya yg bernama Wisanggeni. Ia adalah orang yg suka berterus terang, sehingga tidak bisa berbahasa halus Kromo Inggil.

Yang suka bermain simbol pun sebenarnya akan terlihat watak aslinya, yaitu ketika batas kesabaran telah hilang. Dalam kondisi itu ia akan suka mengajak atau “menantang” berterus terang, buka-bukaan. Ini dalam ungkapan Jawa disebut “blak kotang”, blak artinya membuka, kotang artinya BH. Namun jangan dimaknai tekstual dengan “membuka beha”. Maknanya adalah mari berterus terang, kita buka isi di dada, buka hati kita. 

Sumber : Status Facebool Soehadha Moh Abni

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed